Monday 14 April 2008

Antri minyak di kota minyak...

Subuh belum juga datang, masih sekitar jam empat pagi...

Tapi ribut-ribut di luar terdengar jelas sekali. Rupanya tetangga-tetangga sedang membawa jerigen masing-masing untuk antri minyak tanah hari ini. Padahal sepertinya kabar kemarin, minyak tidak jadi datang ke agen (yang juga tetangga dekat rumah).

 

Dan benar saja, antrian jerigen panjang sudah memenuhi jalanan samping dari pemilik minyak tanah... tapi siang menjelang mereka kecewa, karena tidak mendapatkan apa-apa dan akhirnya pulang ke rumah masing-masing.

 

Dari mereka terdengar ada yang berkomentar, “Katanya kota minyak, kok malah nggak ada minyak sih. Kalau minyak tanah naik, ya naik saja – toh kita juga akan beli, daripada mo naik tapi barangnya nggak ada begini. Orang kecil suruh pake gas elpiji – emangnya uang kita berapa?”

 

Saya seperti tersedak meski tidak sedang makan.

Hampir setiap waktu saya mendengar ibu-ibu sering membicarakan minyak tanah bahkan ada rekan satu departemen dengan saya yang rela tidak kerja demi membantu istrinya antri minyak, mo ada acara di rumah, katanya.

 

Masyarakat sekitar masih banyak yang tidak mampu dan juga masih menggunakan minyak tanah untuk memasak termasuk keluarga saya, karena ibu juga banyak terima pesanan kue dan roti – jadi lebih banyak pakai minyak tanah.

Mereka tinggal dengan rumah kecil dan hanya menjadi pedagang kaki lima saja sudah merupakan perjuangan untuk bisa bertahan, karena belum ada pemerataan bantuan kepada mereka yang tidak mampu.

 

Ada bantuan tapi terpotong di sana-sini, hingga ada yang seorang nenek yang rumahnya jauh berjalan kaki dan meninggal karena antri bantuan uang Rp 40.000,- / bulan. Beginikah wajah-wajah (para pemimpin) yang diberi amanah untuk ummat?

Seberapa besar uang itu bisa memberikan jaminan bertahan sebulan? Karena semua harga-harga naik dan sulit turun kembali. Jangankan membeli beras, mungkin uang itu hanya buat nyemil saja untuk orang kaya...

 

Ada juga yang tidak kebagian di daerah RT-nya, maka harus antri lagi di tempat lain... sungguh, minyak benar-benar langka dan ini selalu terjadi setiap ada isu kenaikan harga. Saat isu tersebut beredar, justru barang-barang kebutuhan utama malah sudah menaikkan harganya lebih dulu dan semakin membuat masyarakat kalangan bawah tidak mampu berbuat apa-apa. Meski bisa saja protes, tapi seperti angin lalu...

 

Sumber daya alam yang semestinya bisa dikelola oleh masyarakat yang tinggal disana, tapi tidak juga menyejahterakan, karena pekerjaan tinggi hanya bisa dimasuki oleh yang berpendidikan tinggi pula (yang saya maksudkan perusahaan-perusahaan besar dan asing di wilayah kota ini). Sementara sekolah juga memberi biaya-biaya yang mencekik leher, dan tak banyak yang bisa mengenyamnya, persaingan kerja yang demikian ketat, persoalan yang demikian kompleks dan belum ada penyelesaian.

 

Saya jadi teringat pada beberapa kalimat...

Apakah yang paling berat di dunia ini? (amanah)

Apakah yang paling ringan di dunia ini? (meninggalkan sholat)

Apakah yang paling jauh dari kita di dunia ini? (masa lalu, meski sedetik saja)

Apakah yang paling dekat dengan kita di dunia ini? (maut)

...

 

Semoga ada yang lebih baik untuk kedepan dalam perenungan diri. Dan juga bisa berbuat banyak untuk membantu... dan bukan hanya sekedar mendengar atau melihat saja...

 

Maka, betapa rindu pada dua Umar (Umar bin Khattab & Umar bin Abdul Aziz) yang begitu peduli pada rakyatnya, dan tidak membiarkan mereka kelaparan atau kekurangan sesuatu apapun. Meski dua Umar itu tidak mendapatkan kekayaan sedikitpun di dunia... tetapi amat disayangi dan dirindukan rakyatnya dengan segala kebersahajaannya...

1 comment:

Arif Friyadi said...

subhanallah.. menggebu2 tulisannya..