"Novelnya dah ane baca, mbak. Kalau mau pinjam, tafadhol... isinya bagus sih, tapi apa hikmahnya, yah?" tanya Ode suatu ketika saat ane sedang menunjuk pada sebuah buku.
Nah dari tanya itu, ane kepingin ngebahas... apaan...?
Menulis...
Ya... apa dan mengapa menulis, baik fiksi atau non fiksi?
Hanya untuk dibaca atau sekaligus memberi ibroh...?
Ane sendiri sangat jarang menulis fiksi, meski ikut mengumpulkan waktu kemarin untuk antologi cerpen bareng temen-temen FLP Balikpapan... duh, ane belum bisa sebaik yang lain...
Tapi ane suka sekali menulis kisah kehidupan di setiap waktu yang terjalani, lantas muncul beberapa kata, ada pengalaman apa, bertemu siapa... lantas dengan lancar sekali menuliskannya dalam buku, kemudian ketik lagi en masuk blog atau ane kirim via email untuk temen-temen lain... namun, di sana ane juga tetap mencoba menghidupkan dengan dialog dan percakapan yang pernah terjadi...
Tentu sangat banyak sekali buku-buku kepenulisan fiksi non fiksi... memuat tujuan... tips & trik... dan setiap buku itu melengkapi buku yang lainnya...
Salah satu bukunya adalah yang ditulis oleh Mbak Afifah Afra dengan judul "How to be a Smart Writer." Dan ane menemukan halaman-halaman yang memuat tentang fiksi dan hikmah ini... (dengan sedikit sekali editan).
***
Apakah menulis cerita fiksi itu sebuah kebohongan? Kata salah seorang ustadz tersebut, "Yang namanya kebohongan, adalah ketika yang dibohongi tidak tahu bahwa ia dibohongi. Jika kita membaca cerita fiksi, saya tahu cerita itu tidak nyata, tetapi saya merasa tidak dibohongi."
Fiksi adalah sebuah imajinasi. Ia adalah fakta yang tidak aktual. Terjadinya tidak harus saat ini, tetapi bisa jadi suatu saat. Beberapa abad silam, ketika ada orang yang bercerita tentang manusia yang bisa terbang, bisa jadi orang menganggap itu sebuah angan-angan belaka. Nyatanya, saat ini kemanapun kita pergi, tersedia pesawat terbang yang siap mengantar kemanapun-asal kita punya dana yang cukup.
Baru-baru ini, saya bertemu dengan Hakimudin Salim, seorang pelajar di Pesantren Isy Kariman, Karanganyar. Seorang anak muda yang mengagumkan. Usianya belum ada 20 tahun, karena masih sekolah di aliyah, namun ia mampu menjelaskan suatu hal bak seorang ulama.
Dia memberikan sebuah ulasan yang menarik tentang penggalan QS. Al-Hadiid :25,
"... wa anzalnal hadiida fiihi ba'sun syahiidun wamanaafi'u linnaas..." artinya, "... Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan bermanfaat bagi manusia."
Apa hubungan antara ayat tersebut dengan fiksi?
Adalah keheranan orang-orang terdahulu, saat ayat tersebut turun. Mereka mengatakan bahwa ayat tersebut bohong. Mana mungkin pada besi terdapat kekuatan yang hebat dan bermanfaat bagi manusia?
Sedangkan besi, saat itu baru digunakan paling-paling hanya untuk membuat pedang. Baru-baru sekarang saja, kita mendapati, bahwa hampir semua unsur teknologi, ternyata menggunakan besi sebagai salah satu bahan bakunya.
Fiksi, saat ini mungkin bisa jadi imajinatif, namun suatu saat bisa menjadi sebuah kenyataan. Bahkan menurut Johni Ariadinata, terkadang realita itu terkadang, lebih imajinatif dari fiksi itu sendiri. Zaman dahulu, seorang menulis tentang kakak beradik yang saling bercinta, dan orang-orang mencemooh sebagai sebuah hayalan kelas tinggi. Sekarang, kita bisa melihat realita : ayah menghamili anaknya sendiri, seorang
ibu menyalurkan kebutuhan biologisnya pada sang anak...
Jadi, apakah fiksi itu sebuah kebohongan? Anda bisa menjawabnya sendiri.
YANG TERPENTING DARI FIKSI ITU SENDIRI ADALAH, HIKMAH APA YANG INGIN KITA SAMPAIKAN KEPADA PEMBACA. Jangan sampai pembaca justru kita rusak dengan liberalisme pemikiran kita. Itu namanya tidak bertanggung jawab.
***
Yah, menulis fiksi mau dalam bentuk cerpen atau cerbung, hingga novel... tentu perlu mengasah imajinasi kita untuk menghidupkannya.
Namun tentu bukan sekedar tulisan saja, bukankah ini adalah dakwah melalui pena?
So, sobat sendiri yang bisa memahami bagaimana fiksi itu terbentuk dan terbaca hingga akhirnya.
Yuk...! Berikan yang terbaik untuk pembaca...
Jika photographer menjadikan kamera sebagai senjata tanpa peluru... begitu pun penulis, mengungkapkan kebenaran serta menuliskan hikmah yang menggugah dengan pena... dan pena bisa lebih tajam dari pisau belati.
Artinya... menulis adalah kesungguhan dan ketulusan niat untuk memberikan yang terbaik pada semua...
Nasihatkan pada diri serta pengingat diri kita untuk terus bermuhasabah serta memberikan yang terbaik... serta dengan karya terbaik kita.
Yo, semangaaaaaaaaaaaaaat...!
Nah dari tanya itu, ane kepingin ngebahas... apaan...?
Menulis...
Ya... apa dan mengapa menulis, baik fiksi atau non fiksi?
Hanya untuk dibaca atau sekaligus memberi ibroh...?
Ane sendiri sangat jarang menulis fiksi, meski ikut mengumpulkan waktu kemarin untuk antologi cerpen bareng temen-temen FLP Balikpapan... duh, ane belum bisa sebaik yang lain...
Tapi ane suka sekali menulis kisah kehidupan di setiap waktu yang terjalani, lantas muncul beberapa kata, ada pengalaman apa, bertemu siapa... lantas dengan lancar sekali menuliskannya dalam buku, kemudian ketik lagi en masuk blog atau ane kirim via email untuk temen-temen lain... namun, di sana ane juga tetap mencoba menghidupkan dengan dialog dan percakapan yang pernah terjadi...
Tentu sangat banyak sekali buku-buku kepenulisan fiksi non fiksi... memuat tujuan... tips & trik... dan setiap buku itu melengkapi buku yang lainnya...
Salah satu bukunya adalah yang ditulis oleh Mbak Afifah Afra dengan judul "How to be a Smart Writer." Dan ane menemukan halaman-halaman yang memuat tentang fiksi dan hikmah ini... (dengan sedikit sekali editan).
***
Apakah menulis cerita fiksi itu sebuah kebohongan? Kata salah seorang ustadz tersebut, "Yang namanya kebohongan, adalah ketika yang dibohongi tidak tahu bahwa ia dibohongi. Jika kita membaca cerita fiksi, saya tahu cerita itu tidak nyata, tetapi saya merasa tidak dibohongi."
Fiksi adalah sebuah imajinasi. Ia adalah fakta yang tidak aktual. Terjadinya tidak harus saat ini, tetapi bisa jadi suatu saat. Beberapa abad silam, ketika ada orang yang bercerita tentang manusia yang bisa terbang, bisa jadi orang menganggap itu sebuah angan-angan belaka. Nyatanya, saat ini kemanapun kita pergi, tersedia pesawat terbang yang siap mengantar kemanapun-asal kita punya dana yang cukup.
Baru-baru ini, saya bertemu dengan Hakimudin Salim, seorang pelajar di Pesantren Isy Kariman, Karanganyar. Seorang anak muda yang mengagumkan. Usianya belum ada 20 tahun, karena masih sekolah di aliyah, namun ia mampu menjelaskan suatu hal bak seorang ulama.
Dia memberikan sebuah ulasan yang menarik tentang penggalan QS. Al-Hadiid :25,
"... wa anzalnal hadiida fiihi ba'sun syahiidun wamanaafi'u linnaas..." artinya, "... Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan bermanfaat bagi manusia."
Apa hubungan antara ayat tersebut dengan fiksi?
Adalah keheranan orang-orang terdahulu, saat ayat tersebut turun. Mereka mengatakan bahwa ayat tersebut bohong. Mana mungkin pada besi terdapat kekuatan yang hebat dan bermanfaat bagi manusia?
Sedangkan besi, saat itu baru digunakan paling-paling hanya untuk membuat pedang. Baru-baru sekarang saja, kita mendapati, bahwa hampir semua unsur teknologi, ternyata menggunakan besi sebagai salah satu bahan bakunya.
Fiksi, saat ini mungkin bisa jadi imajinatif, namun suatu saat bisa menjadi sebuah kenyataan. Bahkan menurut Johni Ariadinata, terkadang realita itu terkadang, lebih imajinatif dari fiksi itu sendiri. Zaman dahulu, seorang menulis tentang kakak beradik yang saling bercinta, dan orang-orang mencemooh sebagai sebuah hayalan kelas tinggi. Sekarang, kita bisa melihat realita : ayah menghamili anaknya sendiri, seorang
ibu menyalurkan kebutuhan biologisnya pada sang anak...
Jadi, apakah fiksi itu sebuah kebohongan? Anda bisa menjawabnya sendiri.
YANG TERPENTING DARI FIKSI ITU SENDIRI ADALAH, HIKMAH APA YANG INGIN KITA SAMPAIKAN KEPADA PEMBACA. Jangan sampai pembaca justru kita rusak dengan liberalisme pemikiran kita. Itu namanya tidak bertanggung jawab.
***
Yah, menulis fiksi mau dalam bentuk cerpen atau cerbung, hingga novel... tentu perlu mengasah imajinasi kita untuk menghidupkannya.
Namun tentu bukan sekedar tulisan saja, bukankah ini adalah dakwah melalui pena?
So, sobat sendiri yang bisa memahami bagaimana fiksi itu terbentuk dan terbaca hingga akhirnya.
Yuk...! Berikan yang terbaik untuk pembaca...
Jika photographer menjadikan kamera sebagai senjata tanpa peluru... begitu pun penulis, mengungkapkan kebenaran serta menuliskan hikmah yang menggugah dengan pena... dan pena bisa lebih tajam dari pisau belati.
Artinya... menulis adalah kesungguhan dan ketulusan niat untuk memberikan yang terbaik pada semua...
Nasihatkan pada diri serta pengingat diri kita untuk terus bermuhasabah serta memberikan yang terbaik... serta dengan karya terbaik kita.
Yo, semangaaaaaaaaaaaaaat...!
2 comments:
yuks, semangat ^_^
btw, ada ya FLP balikpapan :D
kalau FLP samarinda ada ngga ya..? pengen ikutan juga nih yang disini ^_^
yupz.... lhoh, FLP Balikpapan mah udah lama atuh...
FLP Samarinda juga ada, insyaAllah nanti ada RAKOR FLP se-KALTIM di Balikpapan tanggal 22-23 November 2008, agendanya sudah saya tulis... ^_^
Post a Comment