
Akan kuceritakan masa kecilku hingga aku menginjak usiaku yang sekarang, dimana dari usia 2 tahun hingga 15 tahun lamanya ada kisah bersama orang-orang yang kucintai dan mereka mencintaiku...
Sosok-sosok yang tangguh dalam pengabdian sepanjang hayat dan juga penyejarah dalam kehidupanku...
Ia bersahaja... tak pernah marah kecuali aku membuatnya benar-benar harus menjadi ‘the judges’... semuanya begitu mengesankanku, hingga aku menjelang banyak usia ini hingga nanti ke akhirnya...
Baiklah, pasti kawan ingin tahu bukan...?
Saat itu aku sekiranya masih duduk di bangku TK, masih mungil-mungilnya, kan?
Tapi olehnya aku diajari mencuci baju sendiri, mencangkul dan memanjat pohon... dua yang terakhir itu, benar-benar produk untuk anak lelaki yang salah edaran, karena aku yang harus menanggungnya...
Setelah semua bisa kukerjakan sendiri... kemudian aku diajaknya membakar biji jambu mete dan juga singkong di dalam batang kelapa yang sudah ditebang... penuh petualangan dan kemapanan, tapi kenapa harus aku lagi yang diajari... kalo tak salah saat itu aku duduk di bangku
usia Sekolah Dasar...
Untuk menyenangkan hati insan yang mengesankan aku ini, maka aku selalu tersenyum jumawa mengerjakan semua perintahnya, tak ingin dan berani menyakiti hatinya...
Aku juga diajari menarik napas, mengambil tuts-tuts pianika yang sedari kecil menemaniku itu... biar tambah kuat katanya...

Esoknya produk catur masuk desa, akupun tak luput untuk diajarinya juga... benar-benar aku bertanya dalam hati, mungkin orang yang mengesankan hatiku ini ingin aku mandiri... bisa di segala bidang, meski aku seorang anak perempuan... seperti yang pernah ia nasihatkan padaku kalo nanti aku akan menghadapi hari depan...
Memasang batu bata besoknya lagi... mencetak hingga membakar... mengaduk semen... mengayuh sepeda, belajar naik motor... hingga bercocok tanam di sawah dan juga produk bermutu khas desa lainnya... seperti panen hasil sawah, beternak ayam hingga burung hantu dari jenis
yang hampir punah... menunggu air tengah malam terkantuk-kantuk di gubuk sawah untuk irigasi... dapatkah kau bayangkan, kawan...?

Aku terjerengah seperti angsa yang kalap karena dihalangi jalannya... tapi aku sangat gembira, di saat bisa menambal ban sepedaku sendiri ketika ia tak mau memperbaikinya... maka kuambil lem dan peralatan kasar seperti gergaji genggam yang tajam, ban bekas yang kugunting seperlunya dan juga menggosok-gosoknya pada dua sisi beralaskan batang palu dari kayu...
Esoknya lagi... dan lagi... aku diminta melukis dengan guratan pisau khusus di atas kayu triplek seperti contoh yang ia berikan padaku... lalu membuat perahu dari sabun... tapi aku lebih suka membuat lukisan angsa di atas sabun itu untuk souvenir... sungguh aku mendapat senyum indah darinya...

Hasil belajarku membuahkan hasil dan yang terpenting kawan... aku bisa membuat ayah dan ibu semakin bahagia olehku... indahnya suasana itu bukan main...
Benar-benar aku sangat bangga pada mereka dan senang pada diriku... intinya percaya diri... maka tak seperti muslimah umumnya, yang berjari lentik dan lembut... tangan dan jariku kasar serta dipenuhi urat-urat persis kuli panggul di pasar... aku saja ngeri... tapi temanku selalu memegang tanganku dan mengatakan ia suka dengan tanganku, aneh... lalu katanya lagi, kok bisa ya seperti itu... tapi temenku yang satunya menimpali... heh, jangan salah... tangan itu salah satu yang masuk surga... amiin...
Eh, masak tanganku saja... ^_^
Aku jadi teringat kisah Fatimah menggiling biji gandum tanpa khadimat di rumahnya... tak terperi rasanya mengenang kisah itu... tapi juga bersuka cita, berharap memohon pada-Nya...
Kemudian lagi, pelajaran membuat layang-layang besar... aku juga sering memainkannya bersama dengannya di sore hari yang cerah sepulang dari sawah... esoknya lagi membuat prakarya berupa lampion dari kertas minyak... terus jam dinding dari kayu dan juga tradisi mendengarkan musik sepanjang sejarah... mulai dari Aryati hingga keroncong Melayu...

Aku jadi terbiasa menyanyikan lagu-lagu daerah dan juga keroncong atau lagu kebangsaan karya anak negeri di masa perjuangan... membaca puisi dan tridharma dalam pramuka... bahkan guru musikku di sekolah juga memintaku menyanyikan lagu lawas milik nenek-nenek, untuk lomba Agustusan di Kabupaten... benar-benar penghargaan kelas seni, kawan...
Saat memanjat pohon mangga, seperti seekor kelelawar yang tahu produk mangga bermutu... aku bisa tahu, kalo mangga itu sudah ranum... meski makin banyak angkrang (semut merah besar), aku tetap senang memanjat pohon yang tak berhenti berbuah di dalam halaman rumah samping ini... lalu kukupas dan kupotong kecil-kecil berbentuk persegi, lalu mengambil garpu... makan bersama dengan sepiring mangga dalam nuansa indah tak terperi... kadang ibuku juga ikutan makan, mungkin anaknya ini layak dapat predikat pemanjat pohon mangga terbaik dalam keluarga...
Esoknya lagi, tebu yang sudah dipanen pejabat desa untuk produk gula... sisa akarnya dibakar dan setiap warga selalu mengambilnya untuk kayu bakar, termasuk aku... atau jika ada yang akan tanam bawang merah, dengan sangat senang disambut semua orang untuk mencari tambahan uang dengan memotong ujung bawang merah sedikit untuk ditanam... kadang hasil potongan-potongan kecil itu ada yang dibawa pulang dimasak begitu saja dengan tempe gembos (entah mengapa dinamai tempe gembos, padahal tidak gembos seperti sepeda yang kunaiki...)... atau dimasak apa sajalah sesuka-suka, hehe...
Kalo tidak bawang merah, maka jari-jari orang dipakai untuk memilin satu persatu biji jagung dari tongkolannya... benar-benar tersiksa, kawan – kadang sampai memerah dan benjol-benjol berisi air atau bernanah...
Syukurlah, ayah menjadi orang pertama yang punya mesin serbaguna atau dinamai diesel... bisa untuk merontokkan butir padi dari tangkainya jika panen, memisahkan butir jagung dari induknya dan yang lain... kuanggap teknologi modern di bidang pertanian di desaku... aku benar-benar menarik nafas lega bukan kepalang...
Nah, sudah mafhum siapa yang kumaksudkan ‘kan, kawan...?
Lalu sosok satunya lagi... kalo kubilang ayah adalah irama lembut bagai daun berguguran dan bijak seperti penasihat istana... maka ibuku mewakili golongan pemimpin juru masak istana... dari bibir mungilnya, tak berhenti kalimat petuah dan gerutuan semacam merpati menyambut mentari... tapi hatinya, jangan ditanya... lembut seperti sutra...
Ayah mengajariku huruf latin dan aneka bidang secara merata... maka ibuku yang mengajariku alif-ba-ta dan urusan dapur yang jarang kujamah... aku jadi ngilu sendiri, setiap kali budhe-ku mengingatkan untuk mengaji... tetap saja aku semacam monyet yang kurang gizi...
tak mau mengikut perintah untuk mengaji di langgar desa... kini, sungguh ingin kuhapus semuanya dan aku ingin sekali mengabarkan bahwa aku sudah bisa meski masih terbata... namun semuanya sudah tiada termasuk budhe-ku tadi...Justru kakak perempuanku-lah yang mewarisi resep masakan ibu, sedang aku jangan ditanya... makin gemar berpetualang bersama ayah untuk menebang pohon bambu dan dijadikan kurungan ayam atau pagar tanaman... aku tak berbakat memasak sampai sekian lama... mungkin sekarang juga, namun sudah tak seperti dulu... INTINYA MEMBELA DIRI, hehe...
Kakak perempuanku termasuk berjiwa bandel, suka memberontak dan jenis kebandelan yang sudah akut lainnya... pelajaran sekolah tak sedikitpun nyantol di kepalanya... bahkan sering bertanya padaku... INTINYA AKU SOK TAHU
, semua buku pelajarannya kubaca hingga tuntas tanpa peduli pelajaranku sendiri... lalu menjawab tanyanya dan membantunya mengerjakan soal... tapi syaratnya, besok ia harus menyapu halaman depan dan belakang yang merupakan bagian dari tugasku sehari-hari... sungguh, sampai-sampai aku merasa cemas dengannya... kapan ia akan dapat juara kelas... tapi ia tetap juara yang lain... juara memasak, bahkan temanku yang datang berkunjung ke rumahpun sampai habis beberapa porsi dengan masakannya yang lezat tiada tara... kini bagaimana kabarnya di Jawa?
Subhanallah...
Ibuku adalah sang dermawan... padanya aku ungkapkan cita-cita di hari depan dan cintaku padanya... setiap aku akan tidur di sampingnya, ia menggosok punggungku dengan pijatan halus yang terasa nyaman dan melelapkan tidurku...
Karena aku sering sakit... aku selalu tidur dekat dengan ayah... bahkan hingga kelas empat Sekolah Dasar pun, ayah masih menggendongku di depan dengan selendang Jawa... lalu ibuku mengantar kepergian kami kemanapun, dengan menyiapkan masakan lezat di meja makan... biasanya aku makan bareng dengan ayah, tapi lebih banyak kupakai piring darinya
yang telah terpakai... untuk makanku... benar-benar aku tak mau berpisah darinya meski hanya dari piring nasi...
Kini... bila kuingat semua itu, rasanya ingin mengulanginya lagi... tapi kalo bisa aku sudah diminta berhijab... berarti tak bisa manjat pohon lagi, hehe... yah, mana mungkin tho? Itu hanya kenangan-kenangan indah kelas tinggi sepanjang hayat...
Ayah... seorang guru di kelas dan pemimpin para guru... karena beliau kepala sekolah dasar di desa sebelah...
Tidak hanya di sekolah ia mengajarkan ilmu-ilmu bermutu... dalam keseharian sebagai seorang ayah, beliau sangat piawai sekali berperan ganda sebagai produk kelas tinggi, bisa memberi banyak inspirasi dan hal lainnya yang dianggap remeh temeh oleh orang lain, tapi sangat menakjubkan hatiku... orang-orang bilang, aku adalah produk unggulannya, yang menyerupainya persis, aku dan ayah kata mereka... pasangan serasi, ayah dan anak ragil (anak terakhir)...
Beliau wafat saat aku akan ujian EBTANAS kelas 3 SLTP, aku tak belajar untuk ujian, karena rasa berkabung panjang mengenangnya dan betapa cepat waktu memintanya kembali ke hadapan-Nya...
Beliau adalah seniman kelas tinggi untukku, bisa menyanyi dan melantunkan aneka alat musik yang diajarkannya juga padaku, melukis dan yang lainnya... aku juga diikutkan sanggar tari saat masih TK hingga Sekolah Dasar... beliau adalah seorang pensiunan guru yang dihargai dengan segenap jasanya untuk insan muda dan generasi... tak ada yang dapat kutautkan sebagai penghargaan untuknya... aku hanya menciumnya saat kepergiannya... dan kubisikkan kata, “Ayah, aku sangat bangga dan mencintaimu sepenuh hatiku...” tak lebih tak kurang...

Dan ibu... oh, semoga Allah meridloimu di dunia wal akhirat bersama ayah... amiin...
(to be continued... next : Merana...)
Mengenang ayah (alm) Fatchul Moebin di 11 Desember... tanggal kelahirannya yang selalu kuingat... serta ibuku (almh) Siti Romlah Maryati... meski bukan kandung secara fisik dan darah, tapi semua pelajaran hidup dan semua dari mereka, mengalir dalam darahku...
Syafa Azizah
4 comments:
*duduk dipojokan sambil nunggu lanjutannya*
rencana pengen dibukukan kayak Andrea Hirata itu, hmmm...
perlu diedit-edit lagi dan diolah lagi...
kisah lanjutannya bakal lebih seru, mbak...
btw, nunggu di pojokan mana? ^_^
Bagus mbak. Aku msh belum bisa nulis pake gaya bahasa sastra gini. Keep on ^^v
mbak Luluk ni bawaannya muji mulu… menurut saya malah belum bagus, hehe… baiklah… yuk tetep SEMANGAT!!! ^_^
Post a Comment