Friday, 19 December 2008

[my journey - part 11] – Tak pernah kuduga...

Kawan... kudapatkan hidupku hingga usia Sekolah Dasar ini, begitu banyak kemudahan, meski riak-riak ujian tak kusebutkan secara banyak... tapi, kali ini berita yang cukup mendebarkan... bahkan aku tak pernah merasakannya sedikitpun, meski aku sering berdekatan dengan sosok ini...

Tapi akan kutuliskan mengenai sosok kali ini di akhir tulisan yang ke-11... sementara akan kutuliskan dulu kisah yang lain, yang juga tak kalah seru... setidaknya itu menurutku...

 

Seperti biasa... sore sesudah Maghrib selesai... aku belajar bersama kakakku...

Belajar tentang bintang-bintang... dan aku keluar sebentar di halaman samping rumah untuk melihat bintang... mana sih bintang pari yang berbentuk layang-layang? Berkeliling kepalaku memutar... lalu baru kutemukan di arah selatan... saking girangnya, aku mulai mencari bintang-bintang lainnya...

Maka, kutuliskan pada bintang-bintang itu... ingat ya, aku tak akan berhenti bercita-cita... akan kugantungkan segenap cita dan harapan berjejer indah pada bintang-bintang itu...

Lalu seperti anak kecil dilagukan nina bobo... aku terhanyut mengamati bintang-bintang di atas pohon manggaku...

 

“Lik... sudah selesai belum PR-nya?” tanya ayah keluar dari ruangannya.

“Sudah, yah... jadi, kan?” tanyaku pada pria dewasa ini.

“Ya, turunlah... ajak kakakmu berkemas, segera berangkat... jangan lupa beritahu Mbak Reni, juga...” kata ayahku.

 

Aku bergegas turun dan memberitahu Mbak Reni di sebelah rumah serta kakakku yang tampak malas belajar...

Inilah saat yang kutunggu-tunggu, kawan... tahukah, kau?

Setiap ada pameran atau setiap sepekan sekali... aku, kakakku, Mbak Reni dan ayah pergi ke alun-alun kota...

Membeli makanan atau baju baru, melihat air mancur yang dihiasi lampu warna-warni... dan yang pasti akan membeli bakso serta membawa oleh-oleh kue putu di terminal lama, untuk ibu dan keluarga Mbak Reni...

 

Saat itu... motor ayah masih berupa Honda besar... eh, aku tak ingat tipe apa namanya...

Dari aku TK sampai usia kelas lima ini, kami selalu pergi bersama setiap pekan sekali, hari Sabtu tepatnya...

Caranya bergiliran... kadang kakakku di depan, aku berdua Mbak Reni di belakang ayah... begitu seteusnya bergilir, siapa yang ada di depan... kalau lewat jalan raya enak, kawan... tapi kalo lewat sawah dan pekuburan... kututup mata karena takut akan cerita hantu semasa kecil...

 

Tapi biasanya yang paling banyak adalah aku yang ada di depan... aku kan yang paling ragil, harus mengalah padaku, dong...!

Tapi aku lebih banyak tidur di atas motor... maka jangan kau bawakan barang berupa permen pada tanganku, saat ayah mengemudikan motornya... bisa jatuh dan tak ditemukan di mana jatuhnya...

 

Ohya, pernah suatu kali kami bertiga bermain hujan di halaman depan rumah Mbak Reni... salah satu orang duduk dan ditarik kakinya di atas lantai semen kasar depan taman... duh, senang bukan main rasanya...

Tapi...

Setelah selesai kami saling tertawa... kenapa? Celana kami semuanya robek-robek mirip lap sepatu ayahku yang sangat usang... holala, kami tak sadar sebelumnya kalau akan begini jadinya...

 

Akhirnya kami pulang ke rumah masing-masing dengan khidmat dan segera berbenah agar tak ketahuan...

Sejak saat itu terikrar lagi dalam hati... tidak akan bermain perosotan menggunakan pantat kami di atas semen kasar... lagian pencipta mainan perosotan kenapa terlambat sih, buatnya? Kami kan jadi nggak kebagian...? Awas, lho ya...

 

Nah, kawan... aku teringat... sosok satu ini, samar-samar pernah singgah di masa kecilku... bahkan ia begitu menyanyangiku dan juga kakakku... ia sering datang ke rumah dengan tiba-tiba dan tak mau berpisah dari aku dan kakakku jika sudah bertemu... aku curiga...!

Nah, aku sudah naik peringkat lagi kawan... kelas 6 Sekolah Dasar... uhuy... ternyata aku sudah besar, ya...? Hehe...

 

Lalu... di suatu sore, aku dan kakakku diajak sosok ini ke rumah budheku... letak rumahnya empat desa dari desaku... sebenarnya dari kecil aku sudah tahu, kalo aku punya budhe dari darah kandung, anak-anaknya banyak... tapi aku jarang kesana... apalagi mereka juga sangat jarang sekali berkunjung... kalaupun disana, aku tak pernah tinggal lama... aku buru-buru ingin pulang... soalnya, kasihan ayah ibu sudah ditinggal dan harus mengurus kebun, ayam dan sawah sendirian...

INTINYA aku tak pernah betah lama-lama ke tempat orang, lebih betah di rumah... apalagi di kamarku, untuk menulis kisah ini, hehe...

(Tapi suka mati lampu, padahal sudah kutuliskan kisah lanjutannya hingga beberapa judul... listriknya di tengah malam pun, tetap tak kuat menanggung beban... duhai, akhirnya kutulis ulang dengan beberapa kalimat yang tak sama...).

 

Dan kali itu, aku menurut saja saat diajak... sosok ini berpamitan pada ayah dan ibu, untuk membawaku serta kakakku dan meminjam sepeda jengki ayah... sampai di sana, kami malah duduk-duduk di luar dekat pohon mangga... bercerita-cerita dengan bahasa yang tak kumengerti sepenuhnya... dan aku seperti biasa, terkantuk-kantuk jika mendengarkan orang berbicara terlampau lama tanpa mengajakku ikut serta... bosan dan malas... pengen cepat-cepat pulang...

 

Lalu tibalah saat terdengar pertanyaan dari budheku, yang tiba-tiba menoleh padaku...

Aku terjejak tegak, duduk untuk bersiap mendengarkan dengan seksama...

“Likah, tahu tidak siapa orang ini?” ia menunjuk pada sosok yang kuceritakan tadi.

 

Lalu kuperhatikan sedikit... orang ini berbentuk tegap tinggi, berparas sedikit ganteng, selalu tersenyum, berambut lebat hitam dan beralis tebal... bahkan hampir mirip seseorang yang kukenal... tapi aku tak bisa menebak...

Lalu aku menggeleng tanda tak tahu... memang siapa? Tanyaku tak terdengar dalam hati...

 

“Lho, ini kan kakakmu...!”

 

Kawan... bumi seperti berhenti berotasi...

 

 

(to be continued... next : Samar-samar bayangan...)