Friday, 19 December 2008

[my journey - part 13] – Jejak-jejak tertinggal...

Libur telah tiba, libur  telah tiba... hore... hore...!

Saat itu belum ada Tasya menyanyikan lagu Libur telah tiba... tapi kuikut sertakan untuk menunjukkan padamu, kawan... kali ini adalah liburan panjang catur wulan kedua di sekolahku... artinya sudah terima raport juga...

 

Aku tak tahu kapan kakak laki-lakiku ini datang, seolah-olah ia sudah mencatat di buku hariannya kalo sekolahku sedang liburan...

Saat kami semua sibuk membantu ibu... ia tampak mengobrol panjang dengan ayah... apa yang mereka bicarakan? Lalu kami berdua dipanggil...

 

Rupanya perbincangan tadi karena kakak laki-lakiku ini, mengajak berkunjung ke tempat dia tinggal... lebih tepatnya, tempat keluarga yang ada pertalian dengan orang tuaku kandung... itu katanya... aku sendiri, malah tidak tahu-menahu...

Kupikir ayah tak akan mengijinkanku... karena ini adalah kepergian kami tanpanya... tapi beliau percaya dengan kakakku, seolah-olah ada kesepakatan tak tertulis antara mereka tentang kepergian kami...

 

Nah, kawan... tempat tinggal kakakku ini sangat jauh, berada di kabupaten Jember, tepatnya kecamatan Tanggul, desa Semboro... kalo kawan melihat peta, maka dengan jelas nama-nama tadi akan tercantum... sedang dalam buku pengetahuan umum, akan kau temukan bahwa di desa Semboro itu juga terdapat pabrik gula... bisa kau bayangkan, bukan?

Eh, tak usah... dari kemarin-kemarin kau kusuruh membayangkan terus... aku takut yang kau bayangkan malah lain, hihi... sudahlah...

 

Dan kami pun berkemas, membawa baju secukupnya...

 

Dari kotaku Nganjuk, perjalanan ini dapat ditempuh dengan bis dan kereta... karena kakak perempuanku suka mabuk daratan... maka kereta lebih layak untuk ditumpangi... lagian kami juga bisa tidur dengan nyaman... terus bisa lebih banyak jajan, hehe...

Salah sendiri mengajak aku ikut pergi, jadi jangan salahkan aku... kalo jajanku melebihi kapasitas uang saku kakakku...

Tapi... saat itu sedang bulan puasa... jadi tak banyak yang bisa kuminta... tidur sajalah... tunggu aku bisa jajan di sana, begitu tiba...

 

Naik kereta api... tut... tut... tut... siapa hendak turut...

 

Kulihat deretan rumah dan sawah berjejer dan kami melewatinya seperti rangkaian pemandangan dalam slide film-film di televisi... aku tak nyenyak tidur rupanya...

Kuingat-ingat stasiun yang dilewati... barangkali aku terlewat menghapal jika aku berkunjung lagi suatu saat... entahlah, kawan...

Akhirnya stasiun terakhir sudah di depan mata... tertulis plang besar di sisi rel kereta “Stasiun Tanggul.”

 

Banyak orang yang ikut turun bersama kami... berebut jalan ingin keluar, seolah kereta adalah ruangan pengap tak ber-udara yang begitu menyesakkan dada...

Hosh...! lega juga menghirup udara di luar...

Sore hari kami baru tiba diiringi hujan gerimis, perjalanan ditempuh hampir 9 jam... capek juga duduk di kereta... seperti tak punya kaki lagi... kami oleng saat turun dari kereta...

 

Lalu kakak menghampiri tukang becak dan mencoba menawar harga... sedang kami meneteng tas masing-masing... harga disepakati, kami bertiga berjejal di atas becak tadi dan mulai menikmati perjalanan... ya, persis naik sepeda, kawan... tapi pemandangan tak bisa kulihat, karena becak dari arah depan ditutup plastik, agar kami tak kehujanan...

 

Lalu kakakku meminta berhenti, setelah kukira kami berjalan sekitar 7 kilometer... hebat, juga ini tukang becak... kuat banget mengangkut kami dalam ukuran jarak seperti itu...

Ternyata, kawan... suatu saat, hal itu juga akan aku alami... kuceritakan nanti saja, sabarlah menanti...

 

Kami memasuki sebuah rumah dan disambut dengan riang dan tangis oleh seorang wanita... maksudku berteriak seperti orang tersengat listrik dan menangis...

Lalu muncul anak-anak dari wanita itu... tapi, tunggu...

Aku seperti pernah melihat wajah wanita ini, tapi dimana? Agaknya aku mulai ingat... wajahnya mirip orang yang ada di foto, di surat kakakku itu... jangan-jangan...

 

Aku sibuk dengan pikiranku sendiri...

 

Kami disuruh masuk, tapi aku sungguh tak mengerti mengapa disambut dengan tangis...

Mereka siapa, sih?

 

Setelah keadaan agak tenang... lalu mengalirlah cerita, kalau kami adalah keponakan keluarga ini...

Lebih tepatnya bibiku... adik kandung dari ibuku kandung... aku baru tahu, saat itu...


Oh ya, kukenalkan anak-anak bibiku yang kupanggil dengan “Marga Sus”... sebabnya adalah...

Sepupuku yang pertama, yang laki-laki bernama Susanto Hari Wibowo, dia agak cuek.. tapi murah senyum...  disusul adiknya perempuan bernama Susanti Indrawati... seusia kakak perempuanku... lalu yang terakhir bernama Susilo Hadiyono... maka dapat kau mafhumi, mengapa kupanggil dengan “Marga Sus...”

 

Karena sudah lelah, kami diminta untuk beristirahat... sedang bibiku ini punya usaha berjualan bakso dan rujak cingur... jadi ia masih melayani pembeli...

Aku... aku tak juga istirahat... aku malah bertanya banyak pada kakak laki-lakiku yang sudah kusayangi ini...

Darinyalah mengalir beberapa peristiwa... di masa lampau...


Ternyata... aku pernah tinggal di sini...

 

 

(to be contiued... next : Merindu...)