Sunday, 21 December 2008

[my journey - part 15] – Masuk sekolah favorit...

Apa kubilang, kawan...

Kalau kau ingin BISA... maka jadikanlah cita-cita itu seperti mimpi yang nyata... tidak ada kemustahilan, jika engkau mau berusaha... meski ada rasa sakit di tempat lain yang menimpa...

 

Meski kudengar kasak-kusuk disana-sini tentang info kelulusan... tapi aku belum percaya sepenuhnya, sebelum wali kelasku mengatakannya sendiri... saat itu wali kelasku bernama Bu Har, yang rumahnya dekat sekolah TK-ku dulu itu lho...

Selepas liburan panjang seusai ujian... aku dan teman-temanku masuk sekolah kembali, namun tidak ada pelajaran... karena kami sedang menunggu pengumuman kelulusan...

 

Tibalah waktunya pembagian raport dan ijazah...

Ohya, kalau di sekolahku... dari kelas satu sampai kelas enam... raport tak pernah diambil orang tua, jadi langsung dibagikan ke murid... termasuk kali ini juga bersama ijazah...

 

Kudengar nama pertama disebutkan... seperti biasanya, Purwanti teman sebelahku yang pandai matematika itu mendapat juara satu... dulu sebenarnya ada juara satu bertahan, tapi sejak kelas empat... dia turun peringkat menjadi juara empat, entah kenapa... namanya Endang Sumeiningsih, atau bisa kusebut “Marga Endang”, karena seluruh kakak dan adiknya... dia empat bersaudara perempuan, anak ketiga... dan semuanya menggunakan nama pertama “Endang”... sedang dia biasa dipanggil Mei...

 

Temanku satu ini waktu di TK dulu suka meminta uang teman-temannya... tapi aku tak pernah... kalau temanku, Purwanti si juara satu itu selalu tak luput darinya, padahal badannya lebih besar dari Mei...

Makanya, biar kami satu kelas... kami punya grup masing-masing untuk tugas atau kawan bermain... Purwanti masuk kelompokku, bersama temanku dari kecil juga bernama Suyati... biasa kupanggil Yu Ti (Yu dalam bahasa Jawa juga berarti Mbak).

 

Lalu juara ketiga... eh, nggak kebalik yah? Bukannya dua dulu musti disebutkan...?

Ada nama Rini Sulistyowati... gadis tinggi, cantik dan rambutnya berombak... berarti dia masih turun satu peringkat setelah sebelumnya dia sempat bertengger di angka dua caturwulan terakhir kemarin...

 

Sedang aku... namaku disebut mendapat peringkat kedua, setelah di caturwulan sebelumnya juara tiga...

Wah, nggak papa deh dapat juara dua... karena nilaiku masih termasuk tinggi selisih sedikit di koma belakang dengan juara satu... berarti aku masih bisa masuk sekolah favorit kedua di kota setelah SMP Negeri 1... kalau mau masuk ke SMP Negeri 1, maka kau harus persiapkan NEM minimal sejumlah 40, 55 kawan...

Jadi, aku tak bisa masuk sana... tapi cukup senang masuk ke favorit kedua... tak perlulah kusebutkan nilaiku padamu, kawan... nanti kau malah tambah penasaran... lagian kau itu selalu mau tahu saja...

Untuk kebaikan bersama, akan kuceritakan yang lain saja, ya...?

 

Dari wali kelasku menawarkan bantuan pendaftaran, untuk murid-murid yang akan melanjutkan sekolah ke tingkat pertama... aku tak bisa diikutkan serta karena letaknya jauh, akhirnya aku pun diantar ayah sendiri untuk mendaftar di sekolah baru... SMP Negeri 4 Nganjuk yang letaknya dekat SMA Negeri 3, di desa Begadung... kalau kau melihatnya dari peta yang ada di Google Map, maka akan kau temukan di sana...

Atau kau minta saja ke Pak Bupati untuk meminta peta daerahku, saat kau berkunjung ke sana...

Kapan kau sempat ‘lah... sedang aku belum tahu kapan akan pulang kampung... belum ada dananya, kawan... tapi juga boleh kalau kau mau bantu, hehe...

 

Dan akhirnya... DITERIMA, kawan... hore...!

Senangnya bukan main rasa hatiku...

Hanya akulah satu-satunya anak yang sekolah di sana, sedang yang lain... teman-temanku... berpencar, sesuai dengan sekolah keinginan mereka... bahkan ada yang jadi satu sekolah lagi dengan yang lain...

 

Kawan, seperti layaknya orang udik dari desa... meski kau dibilang paling modern oleh teman-temanmu yang lain... ternyata ada hal yang masih membuatmu terlihat seperti orang udik beneran... nah...!

Saat itu adalah dimana masa kumelihat sekolah baruku itu... ternyata sekolah itu ramainya bukan main, gedungnya megah dan lapangan basketnya berada di tengah-tengah, dikelilingi oleh kelas dan juga pohon-pohon Akasia... duh, benar-benar seperti anak kecil yang baru melihat bulan dan bintang... takjub tak berkedip karena sejuta pesona... atau sebenarnya akulah yang terlalu terpana dengan ke-udik-kanku...?

Benar-benar tak pernah kubayangkan gedung yang menurutku mentereng ini... aku akan belajar di sana?

Aih... aku merasa beruntung seperti kejatuhan upeti Robin Hood, yang berhasil ia rebut dari pegawai kerajaan... tak terduga akan dapat jatah itu...

 

Oh ya, kawan... sebelumnya Mbak Reni juga SMP itu, ia orang terpintar yang pernah kutemui... entah otaknya meminjam siapa, sampai dia secemerlang begitu... bahkan dia ketua OSIS di sekolah itu dan selalu mewakili lomba untuk Cerdas Cermat... saat aku masuk, dia baru lulus... lalu masuk ke SMU Negeri 2 Nganjuk... masih sekolah favorit juga... tapi di kotaku, itu adalah SMU favorit pertama...

 

Dan ayah berjanji... kalo aku bisa masuk sekolah itu, maka aku akan diajari naik motor bebek Suzuki FIZ warna putih... kalau sampai ayah ingkar janji, maka alamat tak baik untukku... aku jatuh sakit dan demam...

Tetapi ayah sangat jarang ingkar... beliau selalu tepat waktu, pun pada janji...

Maka jangan kau pernah ingkar dengan janjimu, kawan... apalagi padaku...

Aku tak suka itu... memang tak demam lagi... tapi hatiku sakit seperti tersayat belati...

 

Dan setelah semua urusan selesai...

 

Esoknya kami datang lagi ke sekolah, ayah diberikan catatan administrasi...

Seragam... uang gedung... buku-buku... ya pokoknya, tentang urusan murid baru-lah... kau hitung saja sendiri apa saja...

Dan saat itu...

SPP tiga ribu lima ratus rupiah per bulan... uang gedung enam puluh ribu untuk tiga tahun... dan lain-lain...

Sedang uang sakuku juga bertambah menjadi dua ratus lima puluh perak sehari, setelah sebelumnya berjumlah seratus rupiah sehari di kelas enam dulu...

 

Uang saku selalu naik sesuai kebutuhan...

Dua puluh lima perak sehari untuk TK...

Lima puluh perak sehari untuk kelas tiga hingga kelas lima...

Seratus perak sehari untuk kelas enamnya...

Kalau kau di rumah, kau tak akan diberi uang saku... meski kau ijin bermain... tapi saat itu sudah jarang bermain juga, kecuali bersama teman main yang rumahnya di seberang jalan pas, untuk badminton di depan rumah... bahkan ayah dan ibu tak akan memberi uang saku tambahan juga, saat kau selesai memijat atau menginjak-injak mereka...

 

Hanya saja makanan memang selalu berlimpah... ayah yang suka dengan sepakbola, maka tak pernah terlewatkan membeli roti atau kacang mete... hmmm... aku pun juga kebagian...

Ayah selalu mencatat nama-nama klub yang ikut bertanding di Piala Eropa atau Piala Dunia yang biasa kau sebut World Cup...

Saat kau tanya segala tentang sepakbola, maka beliau akan menjawab semuanya dengan tuntas...

Siapa yang kalah... siapa yang menang... siapa yang memasukkan golnya... hapal di luar kepala... kadang nyontek juga sih, di catatannya...

 

Saat kau tertidur pulas di malam hari... kau akan dibangunkan untuk makan...

Makan nasi pecel... enaknya bukan mainan... padahal sedang tidak sahur untuk puasa, kau tetap akan dibangunkan untuk makan...

Nasi itu dibeli dari Mbah Membleh... penjual nasi yang ada di desaku, terkenal hingga luar daerah... bahkan selalu didatangi orang-orang bermobil dan ras-ras China di daerahku... berjualan selepas maghrib hingga malam dan pagi hari... maka saat kau beli nasi pecelnya, sabarlah untuk mengantri...

Mahalnya memang mahal... tapi rasanya sungguh tak tertanggungkan... enak seenak-enaknya...

 

Di kelas satu ini juga... ayah mem-pensiunkan televisi lama hitam putih, yang punya pintu dari kayu, bermerk “National”... dan di atasnya bertengger televisi baru berwarna, merk “Panasonic”... yang dibeli ayah dari teman China-nya yang tempat tinggal sekaligus tokonya, dekat dengan alun-alun... aku lupa namanya, kami sudah seperti keluarga... kami sering berkunjung kesana... dan ia juga sering berkunjung ke rumah... dari toko miliknya itu, permen dan coklat selalu ada untukku, entah ayah membeli atau gratis untukku...

Dan untuk pembelian barang-barang lain, ayah selalu dikasih harga yang murah...

 

Sepeda motor ayah juga sudah berganti tiga kali, kawan...

Motor Honda besar yang dulu sering mengantar kami sekeluarga... ibu juga sering ikut, jika Mbak Reni tak ada... dijual ayah sehabis ia kecelakaan saat pergi ke kota bersama tetanggaku...

Tak tertanggungkan sedih hatiku, melihat ayahku terluka di sana-sini... utamanya di bagian wajahnya, penuh dengan perban dan lebam-lebam seperti tersengat lebah...

Ayah kupijati, kubuatkan kopi kesukaannya ditambah susu kental merk ‘Indomilk’... duhai hatiku makin pilu...

Ayahku bersabarlah...

 

Dan motor bebek milik ibu itulah yang kumaksudkan selalu diganti...

Ada dua sepeda motor... dan empat sepeda di rumahku, untuk masing-masing orang... sekarang menjadi lima ditambah sepeda jengkiku... jadi sepeda motor dijual satu tinggal satu, kan?

 

Oh ya... tahukah kau, kawan...?

Televisi yang dibeli itu... dikhususkan ayah untukku... karena aku tak boleh menyelinap masuk melihat televisinya Mbak Wiwik, yang sebelumnya kuceritakan siapa dia, kepadamu... jadi aku melihat televisi di rumah Mbak Reni...

Rumah ayah di depan selalu ramai untuk orang-orang yang datang menonton televisi, maksudku televisinya Mbak Wiwik tadi... pelopor pemilik antena pertama kali di desa, bisa menangkap beberapa channel tidak TVRI saja... saat itu sedang seru-serunya film ‘Yoko’ si Andy Lau...

Maka aku juga tak mau ketinggalan...

Dari ayah juga aku mulai suka menonton berita... Seputar Indonesia dan Liputan 6 menjadi favoritnya...

Tapi karena pake booster... alat untuk bisa mengambil channel dari satu antena, maka dengan semaunya booster dimatikan Mbak Wiwik dan suaminya... mereka setali tiga uang, orang-orang yang memperlakukan ayah dengan tidak baik... cocok kalo jadi suami istri... eh... aku ngelantur...

Ayah pun ikut kesel bin sebel, meski dalam diam...

 

Tak tertanggungkan rasanya... bahkan aku pernah disiramnya pakai air dari selang, saat akan pergi membawa sepeda, untuk beli dedak makanan ayam... lalu aku dilarang mandi menggunakan kamar mandi yang sejak kecil sudah kupakai bersama keluarga...

Aku mengadukan hal ini kepada ayah... aku masih disuruh bersabar... duh... aku sudah nggak sabar rasanya...

Hingga akhirnya ayah membuat kamar mandi baru yang lebih bagus di dekat dapur... ayahku tidak bersuara dengan keras untuk perihal ini... tapi ia bertindak... mengerjakan sesuatu yang kami perlukan...

Bahkan tetangga-tetanggku yang dari kecil selalu juga sering membantu ayah ibu, juga ikut membelaku...

Entahlah, mengapa persoalan orang dewasa harus melibatkan anak kecil dan aku dijadikan musuhnya...?

Aku tak mengerti...

 

Dan Mbak Wiwik ini seperti membuat permusuhan abadi, antara kami... anak-anak angkat ayah ibu yang lain seperti Mbak Reni, Mbak Is... keluarga ibu di Surabaya yang sering datang tiap pekan...

Aku makin tak mengerti ada apa saja dulunya... sampai-sampai permasalahan ini singgah juga padaku...

Padahal aku tak tahu-menahu...

 

Tapi... dia bisa berbuat apa saja, menguasai segala-gala karena bertalian darah dengan ibu...

Ibu tetap membelanya meski sudah tersakiti berkali-kali... bahkan kakak perempuanku juga berpihak padanya... kami menjadi keluarga yang mengadakan perang dingin, seperti antara Amerika dan Uni Soviet... setiap saat diserang... maka ada serangan balasan...

Begitu seterusnya... aku makin tak paham dunia ini... padahal aku menyayangi kakak perempuanku...

Kadang kami berdamai... kadang ia seperti seorang penyusup untuk mengamatiku...

Tapi... setahuku...

Aku dulu bahagia sebelum kedatangan Mbak Wiwik di rumah ini...

 

Dan termasuk pianika kesayanganku dari kecil, kawan... diambilnya dengan paksa untuk anaknya...

Itu kan hadiah dari ayah untukku...?

Kurang ajar betul...! aku seperti disayat-sayat sembilu... barang-barang pemberian ayah ibu tak pernah kurusak atau kuabaikan... sekarang diambilnya seperti orang yang kelaparan tak dapat makan...

 

Tapi sudahlah... suatu saat akan kubuktikan kalau aku bisa mencukupi kehidupanku sendiri...

Tidak seperti dirinya yang rakus itu... hush...!! itu kata Mbak Reni... kataku juga barusan...

Aku paling sakit kalau ada orang yang menyakiti ayah dan diriku... tapi itu dulu...

Aku sudah sangat jauh berbeda sekarang, kawan... tak lagi seperti itu... nanti kuceritakan lanjutannya... sabar saja... SESABAR AYAHKU yang tak pernah berhenti mengajak untuk bersabar dalam bertindak, BAHKAN KAU TAK BOLEH BERBUAT SEMENA-MENA...

Aku tak tahu, ayahku ini terbuat dari apa... maka ia orang yang paling kucintai daripada benda-benda yang pernah diberikannya...

 

Beberapa waktu...

 

Sekolah baru... seragam baru... dan ternyata sepedaku juga baru...

Dibeli ayah dari kabupaten untuk sekolahku... berwarna biru, bukan lagi sepeda mini seperti dulu... holala, serba huruf ‘U’... kali ini sepeda jengki kalo tak salah merk “Phoenix...”

Seharga seratus lima puluh ribu... mahal sekali, kawan...

Padahal aku tak memintanya pada ayah... aku paling tak berani meminta untuk sesuatu yang besar... seperti sepeda ini, kecuali kebutuhan mendesak seperti buku atau yang berkaitan dengan sekolahku... pokoknya yang perlu saja...

 

Tapi kata ayah, AKU SUDAH BESAR... sudah saatnya memakai sepeda ini...

Dan kesedihanku bukan kepalang, kawan... baru seminggu sepeda itu kupakai... karena masuk siang, maka harus menunggu giliran parkir sepeda dari murid-murid kelas tiga yang masuk pagi, untuk keluar dulu...

Kuparkir sepedaku itu dekat pohon Akasia... eh, dirobohkan kakak kelasku di kelas 2 bernama Suprianto...

Dengan rasa tak bersalah ia pergi begitu saja... sedang aku hampir menangis, karena ada bagian yang bengkok di belakang sepeda... aih, penat benar kepalaku... pasti aku akan diinterogasi ayah, sepulang dari sekolah... padahal aku tak berani menyakitinya...

 

Kelas siangku masih sebentar lagi... masuk jam satu, pulang jam setengah enam sore...

Tidak seperti Sekolah Dasar... istirahat SMP cuma seperempat jam... padahal waktu SD dulu, istirahat dua kali... semuanya setengah-setengah jam, jadi istirahatnya satu jam sehari... dan aku selalu pulang ke rumah, karena jarak sekolahku hanya tiga rumah...

Padahal ruang koperasi untuk membeli jajan di sekolah baru ini, agak jauh dari kelasku... bisa-bisa sehabis sholat Ashar, tak sempat lagi membeli... kerap aku juga bawa roti dari rumah serta minuman...

Aku jarang sarapan... maka tak usah kau ikuti perilakuku ini... nanti kau kena cacing kremi dan sakit-sakitan...

Kalo aku sudah terbiasa, kawan... jangan kau tanyakan lagi...

 

Oh ya, sepedaku juga ada kuncinya di bagian belakang, kawan... karena biarpun pintu gerbang sekolah sudah dikunci, saat itu masih rawan pencurian sepeda... maka kau harus berhati-hati... jangan lupa untuk menguncinya...

 

Jika kau bersamaku naik sepeda... jangan kau lewati jalanan di tengah sawah saat hujan, bisa jadi kau tak akan tiba di sekolah dalam keadaan baik, karena penuh lumpur yang sulit ditempuhi... kalau hari cerah bolehlah... karena lebih dekat daripada kau lewat jalan raya berebut jalan dengan bis kota dan juga angkot... lebih berbahaya, mana jaraknya lebih jauh lagi... aku pernah diserempet angkot...

Maka lewat jalan raya lebih baik kau pilih, di saat genting seperti sehabis hujan atau hendak bertemu temanmu, yang rumahnya di pinggir jalan raya...

 

Dan di sekolah inilah... aku mulai banyak diam...

Bukan karena aku habis kena marah guru BP, di hari pertama upacara bendera...

Saat itu aku memakai baju seragam kakakku yang kucabut untuk nama dan lokasinya... baju seragamku masih belum selesai dijahit...

Melainkan ini karena anak-anak di kota berbeda dengan teman-temanku dulu... masih sulit beradaptasi dengan mereka... meski mereka juga tinggal di desa, tapi lebih dekat kota... aku merasa berbeda dengan mereka... maka, temanku cuman sedikit di kelas satu...

 

Lalu... buku paket dipinjami sekolah, ada juga yang beli...

Dan yang selalu bertahan... tetap saja aku kebagian tugas sebagai sekretaris kelas... menggantikan guru yang malas untuk mencatatkan... tapi kali ini aku punya teman untuk mengganti saat aku tak bisa...

Setidaknya ada dua perempuan dan dua laki-laki menjadi sekretaris di kelas... termasuk aku... maka sedikit longgar dan amanlah pekerjaanku...

 

Karena saat itu masuk siang untuk kelas satu, waduh...! kebayang ngantuknya bukan main jika mendengarkan guru-guruku bercerita... aku maunya diberi soal-soal saja, jadi hilanglah rasa kantuk...

Tapi tak ada yang mengerti perasaanku... terpaksalah kuikuti semua itu...

 

Nah, kawan...

Seperti yang pernah kubilang saat aku naik becak di tempat tinggal kakak laki-lakiku dulu... kurang lebih tujuh kilo tukang becak itu mengayuh becaknya ke rumah bibiku dari stasiun...

Rupanya keadaan itu kualami sekarang... naik sepeda tujuh kilo, maka kalau kau sarapan pagi... tak usah sedikit, banyak-banyaklah... apalagi di hari Senin, meski kau masuk siang... tetap harus ikut upacara bendera dan olahraga di pagi hari untuk kepentingan absensi...

Bisa masuk BP kalau kau tak taat... lagian kalau kau sarapan sedikit, tenagamu akan habis untuk mengayuh sepeda...

 

Teman sebangkuku bernama Deni... perempuan tinggi yang malas bawa buku paket dari sekolah, padahal rumahnya agak dekat dengan sekolah... tapi, ampun...! buku paket kalau tidak kubawa, aku bisa ketinggalan pelajaran.. tapi kalau dibawa beratnya minta ampun... tebal-tebal mirip buku profesor...

 

Oh ya, sat ia menikah aku datang... di tahun 2000 tepatnya... nantilah kuceritakan bagaimana kisahnya...

Selisih usia kami dua tahun, dia seumuran kakak perempuanku... mungkin sekolahnya terlambat dulu... maka jadilah ia teman sekelasku...

 

Biarlah, justru itu memudahkanku untuk belajar di rumah... satu lagi kemudahanku, karena sebagai sekretaris kelas... aku akan menulis di depan kelas, kan? Otomatis, aku tak mencatat di bukuku, apa yang tertulis di papan, kan...?

Karena teman-teman selesai menulis dihapus, diganti tulisan baru...

Aku dibolehkan meminjam buku guruku... lumayan juga, bisa kusalin banyak-banyak apa yang kuperlukan... bahkan menyalip catatan teman-temanku... maka mungkin kau juga  harus mencoba bagaimana rasanya jadi sekretaris, kawan... selalu banyak kemudahan, meski mungkin membosankan...

 

Di kelas satu ini juga, aku belum terlalu dekat dengan guru-guru kecuali guru musikku Ibu Diah Anik...

Nanti akan kuceritakan padamu tentang ini...

Satu hal lagi... walaupun guruku bahasa Inggris di kelas satu amat galak, tetap saja kucoba mencerna apa maksudnya... karena aku suka pelajaran ini selain pelajaran lainnya nanti...

Ada pelajaran bahasa Jawa, belum seberapa kusuka... tapi akan menjadi kesukaanku setelah yang mengajar Pak Putjiono dengan gayanya yang khas... Pak Put ini pencipta lagu Mars SMP-ku, kawan...

Beliau orang seni juga seperti halnya Ibu Diah dan guruku kelak di kelas tiga untuk Bahasa Inggris... Pak Luncana...

 

Di sekolahku ada pelajaran Karawitan juga, khusus kelas satu saja...

Itu lho, memainkan alat-alat musik tradisional Jawa...

Bukan main susahnya... tapi guruku sangat baik hati di bidang ini, beliau guru yang selalu naik sepeda kemanapun pergi, padahal guru-guru lain sudah terlihat berhasil, membawa mobil dan sepeda motor... beliau sungguh teladan yang tak tertandingi meski mungkin guru yang miskin di antara guru yang lain... bahkan, beliau juga sabarnya nggak ketulungan... dengan telaten beliau akan menjelaskan tentang Gending Macopat dan yang lain kepadamu, kawan...

Lalu kisah-kisah pewayangan, fungsi-fungsi nada, mengapa hanya memakai nada kres saja yang lambangnya = #, dalam dunia musik... atau dalam Karawitan disebut slendro dan tidak ada nada-nada Mol seperti pada musik-musik modern... 

 

Membaca jenis-jenis tanda untuk musik, kelak akan menjadi pelajaranmu seminggu sekali dengan Ibu Diah Anik... akan kujelaskan juga nanti... dan untuk kelas Karawitan ini, terletak di samping belakang kelasku...

Dan karena sikap beliau yang sabar itu saja, yang membuatku agak betah di pelajaran Karawitan... setidaknya menguasai sedikit daripada tidak sama sekali... dan yang penting, masih bisa mendapatkan nilai tinggi untuk ujian tertulis dan praktiknya...

 

Kelas satu terbagi menjadi sembilan kelas...

Jika digabung dengan kelas tiga dan kelas dua... jumlah muridnya ada ribuan...

Di sekolahku juga ada band, parkir sepeda yang luas khusus siswa, masjid besar untuk Jum’atan bersama dan sholat wajib... super lengkap...

Oh ya berbicara sholat Jum’at... wanita-wanita di sana selalu ikut sholat Jum’at, dari aku kecil sampai SMP ini... aku dan kakakku termasuk yang rajin sholat Jum’at, daripada anak-anak lain di desaku untuk wilayah anak-anak perempuan...

Guru ngajiku di langgar bernama Mbah Marhamah... suaminya imam langgar itu...

Beliau akan sabar mengajar meski tak dibayar dengan gaji...

 

Dan umumnya, kawan... suasana desa adanya gotong royong dan saling membantu, bahkan dengan tetangga terjauh hingga lain desa pun... banyak yang akan dikenal...

Termasuk ayahku... pekerjaannya dulu sebagai guru... mengantarkan beliau mengajar di beberapa tempat, lain desa... ayah lahir di Kediri, maka keluarga besarnya banyak di daerah Kediri... sedang ibu dari Surabaya... maka keluarga ibu juga banyak yang tinggal di Surabaya... aku sering berkunjung ke dua kota itu...

 

Ayah juga ketua LKMD serta ketua RW saat itu... setiap hari ada saja orang minta tanda tangannya untuk berbagai keperluan... apalagi saat lebaran, kawan...

Aku tak bisa memicingkan mata hingga pagi hari menjelang hari raya kedua... tamu tak henti-hentinya berkunjung, padahal kami sekeluarga belum sempat juga kemana-mana... biasanya aku punya teman untuk berangkat keliling desa bersama-sama... tapi sejak SMP hal itu agak jarang kulakukan...

Teman-temanku sudah punya urusan masing-masing... jadi aku menemani ayah dan ibu di rumah...

Gelas-gelas dan piring tak tertanggungkan banyaknya...

Ayah ibu termasuk orang yang dituakan di desaku... anak-anak kecil lebih sering memanggil ‘Mbah Guru...’

Mereka begitu sangat disegani... dihormati karena ilmu... guru menjadi penting untuk urusan-urusan sensitif...

Mereka mempercayai dalam hal agama... bahwa orang berilmu, lebih bagus derajatnya daripada seorang petani atau pekerjaan lain...

 

Pertama... profesi guru itu sangat terhormat, kawan...

Kedua... menjadi anak guru, maka diharapkan pengikraran darimu bahwa kelak kau juga akan menjadi guru...

Begitulah mengapa, orang-orang juga sangat santun padaku... padahal aku bukan siapa-siapa...

 

Kakak laki-lakiku juga guru bantu di daerahnya, letak sekolahnya jauh sekali... tapi ia tinggal di asrama, tidak di tempat bibiku lagi... mengajar anak-anak keturunan Jawa dan Madura...

Bahkan ia pernah bertanya... apakah aku juga akan menjadi guru? Entahlah...

 

Sebenarnya aku pun kadang juga berharap... kelak aku juga akan menjadi guru... sedang SPG sudah dibubarkan pemerintah... apakah menjadi guru ini, sudah cita-citaku? Atau sebenarnya karena pandangan masyarakat...? Atau juga karena garis keluarga ayah ibuku...?

 

Sepertinya aku belum tahu, kawan...

 

 

(to be continued... next : Janganlah pesimis, teruslah belajar...)