Wednesday, 17 December 2008

[my journey - part 7] – Menebak cita-cita...

Tak usah lagi membahas kisah yang ke-6, aku tak mau, kawan... terlalu panjang menceritakan semuanya...

Kuceritakan yang menurutku cukup mengesankan saja, yah...? biar engkau dapat mengambil manfaatnya jika kau dapat... atau membuangnya ke laut, kalo dirasa kisahku tak baik...

Sepakat, kan...? Yupppzzzzzz, ini kesepakatan kita yang kesekian kali, hehe...

 

Memasuki kelas tiga Sekolah Dasar, ibuku menjadi wali kelasku... saat itu adalah tahun, dimana ayah pensiun sebagai guru dan memilih menjadi petani yang sawahnya masih tersebar... lantas sawah-sawah itu kemudian tinggal satu dekat rumah, melewati pagar bambu Jawa samping sungai kecil... dan di antara banyaknya pohon salam (pohon yang daunnya untuk memasak, dan buahnya berasa sepat manis).

 

Dapat kutuliskan...

Di dalam raportku, pada kolom guru... berisi tanda tangan ibu, lalu... pada kolom orang tua... berisi tanda tangan ayahku... rekor untukku, kawan tidak ada tanda tangan kedua orang tua yang masuk semuanya di raport, kan... iya, kan? Ah, sudahlah... nggak perlu dipusingkan...

 

Sejak usia inilah aku makin mahir memanjat... aku menjadi garang seperti tupai marah kena tipu saat teman-temanku suka mencuri singkong di kebun, buah salam dan timun di sawah...

Duh...! mereka ini tahu nggak sih... ayahku menanamnya dengan susah payah, malah dirusak dan dicuri...

Bahkan aku memberi carang (bambu duri yang kecil-kecil, dan bisa digunakan untuk kayu bakar) di atas pohon salam dengan tali, seperti ayah memberi pada pohon-pohon yang lain...

Aku kehabisan akal... mereka masih bisa saja naik pohon-pohon itu... bahkan jambu mete, jambu air, pisang, sukun, kluwih dan mangga tidak luput dari mereka... gggggggrrrrrrrrrrr...

 

Aku mengadu pada ayah, tahukah engkau kawan jawaban dari ayahku yang kukagumi ini?

 

“Sabar, nduk... yang penting lainnya masih bisa dimakan dan ditanam lagi...” katanya sambil tersenyum.

Duh, andai ayah paham maksudku ingin membelanya... tapi, tak apalah... dari jiwanya yang suci itu, kelak kuikuti jiwa sabarnya yang tiada tara...

 

Usai maghrib yang tetap cerah... kami sekeluarga, ayah ibu, aku dan kakak perempuanku... duduk teratur di depan televisi, sudah kutuntaskan belajar sore itu...

Belum waktu makan... tapi aku tak sabar... lalu aku mulai menceritakan kisah-kisah di sekolahku, di langgar dan di kebun tadi siang kepada ayah ibu... mereka mengangguk-angguk... lalu televisi dimatikan, aku pun mengungkapkan cita-cita di masa mendatang...

“Bu, kalau Likah sudah besar... Likah boleh kuliah, kan?” tanyaku hati-hati pada ibuku. Aku takut beliau tak berkenan, karena sifatnya berbeda dengan ayah.

“Boleh... terserah, kau saja...” jawab ibu...

 

Aku tak puas... dan seperti biasa kutengok wajah ayah... beliau mengangguk-angguk dan tersenyum seperti biasa... berarti, SETUJU...

Lalu ayah bertanya, “Emang cita-citamu apa, nduk?”

Aku berpikir keras... biasanya kalo orang tua guru, maka sang anak juga ingin jadi guru... tapi, aku belum ketemu jawaban yang pas... akhirnya...

“Kalau jadi pelukis gimana, yah?” jawabku ragu, menggambar juga termasuk hobbiku.

“Lhah, pelukis itu bukan cita-cita...” jawab ayah agak tegas.

Aku hanya memandang lututku... tak berani bertanya atau menjawab lagi...

 

Ingin juga aku menjadi guru, kelak akan masuk Sekolah Pendidikan Guru (SPG)... tapi kata orang-orang SPG sudah ditutup, puzing aku... apa cita-citaku...?

 

Esoknya aku naik pohon salam, melihat gunung tinggi yang terletak di Kabupaten Kediri, tapi terlihat di kabupatenku, apalagi di atas pohon salamku... kuterawang kembali percakapan singkat semalam...

Ah, sudahlah... cita-cita biar saja berlalu dulu... suatu saat pasti kutemukan...

Aku segera turun dari pohon salam, karena tidak berbuah... aku tak bisa menikmati buahnya...

 

 

(to be continued... next : Segenggam harapan...)

1 comment:

Semangat Javan said...

waduuh..kok banyak sama ya..masa kecil yang penuh dengan cerita..