Wednesday 13 January 2010

barakah...

Bismillah, setelah lama tidak menulis... ini memulai lagi, dengan mengutip, tapi tak apalah untuk sementara dulu... ^^

Subhanallah, indah sekali, bahasa barakah. Logatnya logat cinta…

Sesudah menikah, semoga barakah hidup kita semakin bertambah. Barakah mengasah rasa, menempa jiwa, memberikan sebuah dunia yang kadang tak tertembus penglihatan manusia biasa. Suatu hari mungkin kita menyaksikan seorang lelaki, ikut antri di warung pecel lele di daerah Monjali. Mendung bergantung sore itu, dan warna hitam yang menyeruak di barat mulai bergerak mendekat. Dia, berkaos putih yang leherannya mulai geripis, di kepalanya ada pecis putih kecil, dan celananya beberapa senti di atas mata kaki. Sandal jepit swallow yang talinya hampir putus nyangkut di antara jempol dan jari kakinya. Seperti yang lain ia juga memesan, “Pecel Lele, Mas!”

             “Berapa?” tanya Mas penjual yang asyik mengulek sambal terasi sambil sesekali meraih sothil besar untuk membalik gorengan lele di wajan raksasa. Gemuruh bunyi kompor mengharuskan orang bicara sedikit lebih keras.

             “Satu. Dibungkus..” perlahan tangannya merogoh saku celana, lalu duduk sembari menghitung uangnya. Malu-malu, tangannya dijorokkan sedikit ke bawah meja. Uang pecahan ratusan yang sudah disatukan dengan selotip bening per sepuluh keeping, pas jumlahnya sesuai harga.

             “Nggak makan sini aja, Mas? Takut keburu hujan, ya?”

             “Hi.. hi, buat istri..”

             “Oo…”

             Selesai pesanannya dibungkus, bersamaan dengan bunyi keritik yang mulai menggambar titik-titik basah di tenda terpal milik Mas Pecel Lele. Agak berlari ia keluar, ternyata melebatnya sang hujan jauh lebih cepat dari tapak-tapak kecilnya. Khawatir pecel lele untuk istri tercinta yang hanya dibungkus kertas akan berkuah, ia selipkan masuk ke perutnya. Bungkusan itu ia rengkuh erat dengan tangan kanan, tersembunyi di balik kaos putih yang mulai transparan disapu air. Tangan kirinya ke atas, mencoba melindungi kepalanya dari terpaan ganas hujan yang tercurah memukul-mukul. Saat itu ia sadar, ia ambil pecisnya. Ia pakai juga untuk melapisi bungkusan pecel lele. Huff, lumayan aman sekarang. Tetapi 3 kilometer bukanlah jarak yang dekat untuk berjalan di tengah hujan, bukan?

             Apa perasaan Anda melihat lelaki ini? Kasihan. Iba. Miris. Sedih.

            Itu kan, Anda! Coba tanyakan pada lelaki itu, kalau Anda bertemu. Oh, sungguh berbeda. Betapa berbunga hatinya. Dadanya dipenuhi heroisme sebagai suami baru yang penuh perjuangan untuk membelikan penyambung hayat istri tercinta. Jiwanya dipenuhi getaran kebanggaan, keharuan, dan kegembiraan. Kebahagiaan seolah tak terbatas, menyelam begitu dalam di kebeningan matanya. Ia membayangkan senyum yang menantinya, bagai bayangan surga yang terus terhidupkan di rumah petak kontrakannya. Di tengah cipratan air dari mobil dan bus kota yang bersicepat, juga sandalnya yang putus lalu hilang ditelan lumpur becek, ia akan tersenyum. Senyum termanis yang disaksikan jagad. Seingatnya, ia belum pernah tersenyum semanis itu saat masih membujang.

            Subhanallah…

 

(kisah nyata dari Ustadz Mohammad Fauzil’Adhim, by Salim Akhum Fillah pada buku Saksikan bahwa aku seorang Muslim).