Wednesday 2 April 2008

Kisah Pak Tua penjual pita dan jepit rambut...

Pagi belumlah beranjak terang...

Dan senyap masih menyisakan embun semalam. Aku bersegera mengambil wudhu di tempat biasa dan dingin menggigil terasa disana.

Dan sujud pagi pun mengawali hariku hari ini...

 

Aku harus bersegera menyiapkan pita-pita ini segala yang ada. Mulai dari gerobak kecil yang menemaniku dan juga bajuku yang tampak biasa-biasa saja.

Dan saat mentari telah nampak di ufuk timur, aku mengucap ‘Bismillah...’ dan berangkat untuk mengunjungi satu tempat ke tempat yang lain.

 

Aku tak berani menjadi pedagang yang menetap di satu tempat. Karena aku pernah mengalami diusir dan diciduk aparat saat aku sedang menjajakan daganganku di satu tempat dekat suatu lapangan yang ramai.

Jadi, biarpun letih menjelma dan butiran-butiran keringat karena panas terik – biarlah lebih baik kurasakan daripada aku harus diusir oleh petugas di sana-sini.

 

Aku menjual pita-pita dan daganganku ini, rata-rata hanya seribu rupiah saja per-bungkus, ada juga yang lebih tinggi sedikit dari itu – setidaknya cukuplah untuk aku yang sudah tua ini jika hanya sekedar makan dan juga untuk istriku di rumah.

Biasanya aku memakan sisa nasi semalam jika akan berangkat, tapi karena nasi sisa semalam tidak ada – aku terpaksa menahan lapar dulu, sampai ada yang membeli barangku ini meski sedikit. Jadi, aku bisa merasa lega jika nanti berjalan jauh dan sudah ada sedikit makanan yang masuk...

 

Ya, hanya ini yang bisa kulakukan – karena aku bukan lulusan sekolah tinggi, bahkan SD-pun mungkin tak lulus karena sebab biaya dulu.

Namun, aku bersyukur karena aku tidak mencuri atau mengganggu orang lain – dan meski rasa lelah begitu menggelayuti – aku harus tetap semangat menghadapi hari.

Kalau sekarang kulihat anak-anak muda, banyak sekali menggantungkan diri pada orang tuanya, bahkan suka sekali tawuran dan juga apalah – aku tak tahu namanya. Bahkan ada pepatah mereka bilang, ini jaman edan kalau nggak ikut edan nggak akan kebagian...

 

Kenapa begitu?

Padahal sangat susah sekali di jaman dulu untuk menjadi lebih baik. Sekarang sekolah dan masjid sudah dimana-mana, mengapa malah ikut-ikutan yang nggak benar.

Tapi apa yang bisa kuperbuat, bahkan aku juga tak bisa memperbaiki keadaanku sampai saat ini. Syukurlah, istriku amat bersabar menemaniku hingga hari tua – meski tak punya anak atau cucu – tapi hasil daganganku yang banyak dibeli anak-anak ini sudah cukup menghibur hatiku.

 

 

Kisah ini bukan kisah yang menggambarkan keadaan sesungguhnya.

Ceritanya terambil saat saya berangkat kerja melihat bapak tua yang sedang berjualan pita dan tampak begitu semangat berkeliling menggunakan gerobak kecil tua. Saya tak bisa banyak memperhatikannya karena sudah agak terlambat berangkat dari rumah ke kantor, dan saya tak sempat berkenalan...

 

Semoga beliau selalu sabar, dan mungkin nanti bisa berjumpa lagi sehingga bisa membantu beliau meski hanya ikut berjualan di pinggir jalan...

 

Ya Allah, tabahkan hatinya dan tambahkanlah kesyukurannya kepada-Mu meski hasil yang ia dapat tidak seberapa...

3 comments:

fitri andriani said...

jalan2 ke MP-nya flp dunk, lik

diisi tulisan getho, kan dirimu tau passwordny kan????

Amy Imut said...

amin... semoga banyak penduduk di negara ini yang bersikap seperti itu dalam menghadapi susahnya hidup ini...

parlan fighter said...

hidup seperti inspirasi kisah tersebut, lebih baik daripada hidup bergelimang harta di kota2 besar, berprofesi pejabat yg banyak akan noda2 hitam... well. keep writing!!