Jedddddddddeeerrrr!!
Serasa guntur menyambar-nyambar tubuhku saat itu. Meski hujan lebat itu di luar rumah, tapi seolah-olah aku ketakutan dan cemas dengan hidupku kedepan... entahlah...
Masih terngiang-ngiang beberapa kata di waktu kemarin...
“Mas-mu dari ayah lain tapi satu ibu... nggak pernah diceritain sama ayah ibu?” tanyanya prihatin.
Aku hanya menggeleng lagi dan kurasakan hatiku menjadi aneh...
Aku baru tahu... sedikitpun ayah dan ibu tak pernah bercerita tentang siapa aku... darimana aku... siapa orang tuaku dan keluargaku...
Aku punya Mas? Artinya dia di atas kakak perempuanku, Mbak Lastri...
Sampai di rumah, aku tak berani bertanya pada ayah...
Takut aku salah atau malah makin bingung... takut menyakiti hatinya yang sudah sehati denganku... yang merengkuhku saat aku sakit... yang membuangkan kotoranku sewaktu kecil... yang membopongku saat aku tertidur di kursi tamu depan televisi... yang... yang... aah...!!
Tapi... justru dari sinilah nanti aku mengetahui siapa saja silsilah yang akan mengantarkanku pada kisah untuk berjumpa dengan orang tuaku sebenar, kawan... saat ini aku tak peduli... meski juga masih berat kuterima... karena dari pertanyaan budhe kemarin, tentu juga mengalir berbagai cerita yang berkaitan denganku sewaktu dulu...
Sungguh, tak pernah kuduga... orang yang begitu menyayangiku ini, yang tak pernah mau berpisah dari kami ini.. ternyata ‘kakakku...’ pantasan wajahnya seperti mirip seseorang yang kukenal... hampir sama dengan kakak perempuanku, tapi aku tahu banyak tentang ciri-ciri seseorang...
Sisi lain hatiku mengatakan, aku juga sayang padanya... kami sepertinya sudah termlampau dekat dengannya, selama ini... tapi tidak untuk saat itu juga...
Egoku terlalu kukuh untuk diruntuhkan... aku masih ingin mengisi hari-hari yang menyenangkan meski tanpanya... bukankah ia tinggal jauh dan harus naik kereta atau bis? Jadi jarang bertemu, kecuali ia punya uang untuk itu...
Sudahlah... tetaplah tersenyum... inilah kenyataan kukatakan padamu, kawan... tapi, begitulah ceritanya...
Petik hikmahnya sesukamu, tapi engkau tak bisa merubah kisahnya...
Satu hal ingin kulakukan sekarang, kawan... aku ingin tidur... itu saja...
Hari esok...
Kawan...
Bisa kau tebak? Kalau aku kelas enam Sekolah Dasar... berarti kakak perempuanku kelas berapa?
Ya, benar jawabanmu... kakak perempuanku kelas dua Sekolah Menengah Pertama... dan dia masuk sekolah swasta karena nilainya tak mencukupi masuk sekolah negeri... ia masih saja susah disuruh belajar...
Nah, sudah pernah kukatakan kalo kakakku ini lebih dekat dengan ibu, bukan? Sedang aku lebih dengan ayahku... biarpun kami tinggal satu rumah sejak kecil, kakakku ini kutemukan jarang sekali berbincang dengan ayah...
Sebabnya karena ia sering berbuat kesalahan, tapi tak perlu kukatakan kesalahan-kesalahan yang sebelumnya terjadi... aku tak tega... bagaimanapun, tetaplah membaca kisah ini saja...
Nah, yang terjadi adalah dia hampir tiap hari menyikutku (menyolek dengan siku tangan)...
“Dik, mintakan uang saku pada ayah, ya?” pintanya.
“Lhah, masak aku terus... minta saja sendiri?” aku tak pernah mau mengalah darinya, meski juga sering kubantu dalam hal ini.
Satu sebab yang dapat kukatakan mengapa ia begitu takut dengan ayahku... dia ini kerap berbuat kesalahan dan buandel bukan main, kalo dinasihati suka nangis... tapi tetap saja suka mengulangi perbuatannya, seolah-olah nasihat ayah ibu itu masuk telinga sebelah... keluar lagi ke telinga sebelahnya...
Nah, sebab itu adalah... ia suka memakai uang SPP sekolah untuk sesuatu hal...
Entah untuk apa, aku tak tahu... aku juga tak pernah bertanya... dan aku tak tahu mengapa ia begitu...
Hatiku sakit tak terkira jika ayah sudah tersakiti hatinya... meski oleh kakakku sendiri...
Soal baju... dari kecil, kami selalu kembar... mungkin hanya beda warna saja, bentuk dan modelnya sama... kami jarang meminta baju, karena ayah ibu tiba-tiba saja sudah membelikan baju...
Baru sejak usia ini, aku boleh memilih baju sendiri sesuai keinginanku...
Kalo kami bertengkar... bisa gawat, kawan...
Kami saling memukul... entah, pelajaran siapa itu... ia begitu keras memukul, membuatku sering menangis...
Aku selalu kalah, kalo soal bertengkar...
Kalo aku sudah jengkel, maka buku-bukunya sering kubuang ke lantai... di dalam kamar kami... tentunya ia tak ada saat itu...
Tapi selalu tak tega dan kususun kembali, meski tak rapi...
Dari merapikan buku-buku itu...
Aku mengetahui sedikit rahasia...
Kuperhatikan beberapa lembar kertas yang kalo tak salah bernama ‘surat’... kemudian juga ‘wesel...’
Kulihat alamatnya... beralamatkan Kalimantan... alamat siapa itu?
Tulisan-tulisan tangan dalam surat itu tidak rapi... jumlah uang yang tertera di wesel itu juga tidak sedikit... bahkan bisa dibilang sangat besar untuk ukuran anak sepertiku... uang jajan atau SPP sekolahku saja tak sampai segitu...
Lalu... siapa pengirim itu? Ada hubungan apa dengan kakakku ini?
Lalu kutelusuri surat-surat yang lain... pengirim lainnya dari kakak laki-lakiku yang tadi kuceritakan padamu, kawan... rupanya dari surat-surat kakak laki-lakiku itulah, dapat kuketahui korespondensi antara kakak perempuanku dengan pengirim surat dari Kalimantan tadi... di situ juga ada fotonya...
Aku menemukan rahasia lain...
(to be continued... next : Jejak-jejak tertinggal...)
1 comment:
http://muslima10.multiply.com/journal/item/131
pembaca klik ini juga yah...
Post a Comment