Tuesday, 23 December 2008

[my journey - part 17] – Terkenang kisah bagian 1...

Kawan...

Pernahkah kau melihat film Oshin dan Ohara di TVRI dulu? Yang ditayangkan saat malam hari.

Dua film itu adalah favoritku dan juga ayah. Dari kedua film itu, membentuk lingkaran ingatan di ruang bawah sadarku. Ada semacam tekad terpatri dalam anganku. SEMANGAT YANG TAK HENTI. Dan MENJADI YANG TERBAIK.

 

Sebenarnya tidak semua episode aku tonton, tetapi itulah yang sedikit kupetik dari sana.

 

Dan, kawan...

Kisah-kisah kali ini adalah beberapa kisah yang terlewatkan dan belum kutuliskan. Tentunya kisah yang hingga usiaku saat masuk SMP. Sesuai alur, agar runtut dan tidak terpenggal-penggal.

Kau pasti sudah tak sabar kan membacanya? Padahal kawan, aku sudah capek mengetik untuk menulis semua ini. Tapi aku juga tak ingin jadi terbengkalai, ingin segera tuntas semuanya, kawan...

Jadi kita punya kesamaan sekarang. SAMA- SAMA TIDAK SABAR, hehe...

 

Jadi kalau kutafsirkan, kawan itu seperti seorang karyawan penerbitan yang sedang menunggu naskah terakhir untuk deadline. Karena penulisnya belum juga selesai-selesai kisahnya, maka kau mengejar juga ke penulis untuk segera menyelesaikan naskahnya. Sedang penulis juga sudah bingung binti pusing tujuh keliling. Nah, itulah gambaran kita. Kuharapkan kau mau menerimanya dan juga setuju. Karena mungkin kaulah yang akan menerbitkan kisahku, hehe...

Sudahlah, tak seru. Kalau begitu kulanjutkan saja tulisanku. Simak baik-baik.

 

Kawan pasti masih ingat toko China yang kuceritakan. Yang rumahnya dekat alun-alun kota dan keluarga kami sudah seperti saudara? Ingat kan? Ingat tidak? Pasti ingat...

Saat itu aku baru masuk TK. Seperti biasa kupakai baju Cinderella jika keluar rumah. Aku, ayah dan ibu berangkat ke alun-alun, saat itu kakak-kakakku tidak ikut karena sedang belajar kelompok. Setelah memasuki toko China itu, ayah dan ibu tampak serius berbicara dengan pemilik toko. Entahlah apa yang dibincangkan orang dewasa. Sedang aku seperti biasa bermain di sekitar toko itu. Melihat-lihat mainan baru sambil makan snack Chiki. Snack yang saat itu dianggap wah, oleh anak-anak seusiaku. Lalu datanglah satu keluarga yang membawa anak lakil-laki yang usianya kira-kira di bawahku satu tahun. Anak itu dilepaskan dari gendongan oleh ibunya dan mulai bermain di etalase toko. Tahukah kau apa yang kulakukan, kawan?

Mula-mula kudekati anak itu, seperti seorang pemburu mendekati mangsa empuk. Anak itu sedang meraba kaca etalase, lalu kutepiskan. Begitu seterusnya, mungkin dia akan menangis sebentar lagi oleh ulahku. Tapi tak juga menangis, aku penasaran. Belum juga selesai kutepis lagi tangannya untuk yang kesekian kali, kepalaku reflek menoleh pada ayah ibu. Alamak...!!

Semua orang memandangku dan sedang tersenyum-senyum. Berarti dari tadi ulahku sudah ketahuan. Tapi,  orang tua anak itu tidak marah. Dan seperti alasan orang tua umumnya, dengan tegas diungkapkan, “NAMANYA JUGA ANAK KECIL.”

Itulah enaknya jadi anak kecil. Meski kau salah sampai seberapapun nakalnya. Tetap tidak akan dimarahi.

Aku langsung tertunduk malu dan lari ke pangkuan ayah. Duh, benar-benar...

Entah sejak kapan aku menjadi musuh anak laki-laki. Maka ada kisah lagi yang lain.

 

Masih berada di usia TK-ku. Aku bermain petak umpet dengan anak-anak SD yang kukenal sambil membawa sebatang ranting. Saat sedang berlari, tiba-tiba aku dicegat anak laki-laki yang sudah kukenal baik. Entah apa yang akan dia ucapkan. Oh ya , usianya satu tahun di atasku, berarti dia masih kelas satu SD.

Tapi aku tak menggubris kata-katanya, tiba-tiba saja aku sudah berlari lagi dan secara reflek ranting yang kupegang mengenai matanya. Eits...! Gawat darurat. Dia menangis, ampun..!

Lalu beberapa anak segera pergi menyingkir dariku . Permainan langsung usai saat itu juga.  Sedang anak laki-laki itu berlari entah kemana. Tiba-tiba saja telingaku sudah dijewer seorang wanita dewasa dari belakang sambil marah-marah, “Kamu apakan anakku sampai tak bisa melek begitu? Awas! Kuadukan kau ke ayah ibumu..!”

Aku meringis kesakitan karena tarikan jemarinya kasar seperti habis memarut kelapa lima puluh buah.

 

Aih...! Masalah dengan ayah ibu bisa kuselesaikan dan aku tak peduli. Tapi yang membuat aku semakin benci dengan anak-anak laki adalah rupanya kutemukan fakta mereka itu CENGENG DAN PENGADUAN. Berarti tadi dia lari mengadu ke ibunya. Benar-benar menyedihkan anak lelaki itu.

Tetapi kelak ini menjadi tidak akan berlaku lagi setelah beberapa waktu kedepan, kawan...

 

Masih tentang permusuhanku dengan anak laki-laki. Kira-kira usiaku sudah kelas empat SD. Pada masa itu aku kesal bukan main dengan teman sekelasku yang suka mengolok-ngolokku. Mengejekku karena aku tak bisa mengucapkan huruf “R”. Benar-benar keterlaluan ucapannya itu. MERUSAK PERCAYA DIRIKU.

Saat kelas sedang istirahat, ini adalah kesempatanku untuk membalas perlakuannya tadi. Banyak teman-teman kelas lain sibuk membeli jajajan, ada juga yang berteduh di pohon beringin depan sekolah dekat lapangan. Aku mengambil kerikil untuk kutembakkan pada sasaranku. Dari jauh kuperhatikan dia sedang duduk di pinggir lapangan dan tampak mengobrol dengan teman-teman yang lainnya. Kucari posisi yang tepat di bawah pohon beringin, lalu segera tanganku melempar kerikil tadi padanya. Tapi kejadian kali ini masih tak mendukungku. Saat tanganku sudah siap melempar, rupanya dia pindah posisi duduk. Dan begitu jemariku sudah melepas kerikil, tentu lemparan itu salah alamat. Lemparanku dengan sukses mendarat di kepala temanku yang lain. Dan kau tahu, kawan...?

Yang kukenai lemparan itu baru saja selesai mencukur rambutnya hingga gundul. Langsung saja dia mengaduh dan menangis. Aku pun diadukan ke guru. Aku dinasihati agar tidak berbuat itu lagi. Sedang aku sibuk menjelaskan kejadiannya berharap agar ada keringanan hukuman. Dan temanku yang suka mengolokku tadi mendapat teguran lebih keras lagi, “JANGAN SUKA MENGOLOK. ITU TANDA TAK BERYUKUR.”

Aku menang dan puas tak jadi dihukum. Cihuy...!!

Eits...! Tapi tetap diadukan oleh dewan guru ke ayah ibuku. Dan aku menerima nasihat lagi dari orang-orang yang kucintai itu. Benar-benar membuatku makin membenci anak laki-laki.

Lagian kenapa anak laki-laki itu, yang badannya lebih tinggi dan besar dariku. Sudah kelas empat masih saja cengeng. Belum lagi banyak yang suka pengaduan, termasuk juga aku, hehe...

 

Kali ini kisah yang mengharukan hatiku, kawan...

Bermula dari tugas wali kelas lima bernama Ibu Sutik yang juga guru tariku dari kecil. Satu kelas dibagi menjadi enam kelompok untuk membuat prakarya berupa lampion dari kertas HVS warna-warni. Kawan tahu kan apa lampion itu? Kertas yang dilem selang-seling agar bisa membentuk formasi seperti rumah lebah, biasa dipajang oleh orang-orang keturunan negeri Tiongkok di daerahku.

Seperti biasa, kelompokku tak lain adalah anak-anak yang disingkirkan dari peradaban. Tapi tentu bukan kelompok yang menyedihkan atau golongan anak-anak nakal. Kelompok ini adalah kelompok campuran. Ada si juara satu, Purwanti, Yu Ti, Jumini 1 (satu kelas ada tiga nama Jumini, jadi diberilah nomor di belakang masing-masing nama oleh wali kelasku untuk bisa dibedakan), serta beberapa anak laki-laki yang terkenal bandel, tukang bikin keributan dan malas belajar.

Pertama kami mengumpulkan dana sokongan untuk membeli lem, kertas dan beberapa keperluan kecil. Tapi untuk membeli kertas, maka itu artinya harus ke pasar. Sedang pasar itu letaknya di kecamatan dan harus melalui empat desa. Benar-benar menyedihkan desaku ini, penjual kertas saja tidak ada. Akhirnya diambil kesepakatan, kami semua pergi bersama-sama naik sepeda masing-masing.

Setelah bahan-bahan didapat, tugas itu dikerjakan di rumahku. Kami segera membagi tugas, siapa yang mengelem dan menggunting. Dan rencana, lampion kami itu berbentuk bulat. Entah mengapa wali kelasku meminta dari kertas HVS, padahal jika sudah dilem, kakunya bukan main. Seperti memegang batu bata yang keras selesai dibakar. Tapi tetap kami kerjakan karena rasa kesetiaan kami.

 

Pekerjaan itu memakan waktu seminggu, karena memang kami mengepaskan dengan waktu deadline yang diberikan. Dan besok adalah waktu pengumpulan prakarya. Saat semua lem sudah kering, tiba saatnya untuk membuka lampion itu. Tapi tidak satupun terbuka, bahkan sangat keras sekali. Rupanya teman-temanku tidak kompak saat mengelem. Sehingga ada beberapa bagian yang pengelemannya bertabrakan arah. Kami pun pasrah dengan hasil itu. Dan ayah berhari-hari ini sepanjang sore juga ikut mengamati pekerjaan kami. Saat beliau melihat hasilnya beliau hanya tersenyum. Tapi tetap saja artinya lampion itu tak jadi dan tak mungkin dikumpulkan besok.

 

Teman-temanku pulang ke rumah masing-masing. Sedang aku masih mencoba membuka lampion itu, tapi masih saja sulit dibuka. Sreeet...! Aih...! Rupanya aku telah merobeknya, kawan...

Setelah merapikan semuanya aku segera pergi ke kamar mandi. Selepas Isya’, aku tidur-tiduran di kursi tamu depan tivi. Capek sekali hari ini. Ayah segera memintaku pindah, karena rupanya aku ketiduran lagi di kursi itu. Tak mungkin ayah membopongku dari kursi itu dan memindahkan ke kamar seperti dulu hingga aku kelas tiga SD. Karena aku sudah bertambah besar, jadi ayah tak mau lagi. Aku pun menuju kamarku sambil mengerjap-ngerjapkan mata, tanda malas sekali.

 

Dan kau tahu, kawan...?

Sebelum subuh menyambut pagi, sekitar jam empat saat bedug baru berbunyi tanda akan segera adzan. Kulihat ayah sibuk di kursi tamu. Dan di meja yang terletak di hadapannya, banyak berserakan guntingan kertas kecil-kecil yang tak berguna lagi. Aku segera menghampiri ayahku, menerka apa gerangan yang sedang disibukkannya?

Aku benar-benar terpesona, kawan...

Rupanya ayah sudah menyelesaikan lampion dari kertas minyak dan bentuknya sangat indah sekali. Berkilau-kilau ditimpa sinar lampu pagi. Berarti ayahku sudah lembur semalaman untuk mengerjakannya, karena kulihat matanya tampak sangat sayu.

Aku segera memeluk ayahku itu dan menangis di pangkuannya menyatakan kebanggaan. Aku benar-benar terpana dan tak menyangka sebelumnya.

Duh, ayah... apa yang bisa kubalaskan padamu jika aku sudah dewasa..?

 

Pagi waktu sekolah tak sabar ingin segera kulewati. Kutaruh lipatan kertas lampion hasil karya ayahku ke dalam tas bersama perlengkapan sekolah lain. Duh, punten... aku tak bermaksud minta dibuatkan oleh ayahku, kawan...

Tapi apa daya, kelompok kami tak punya hasil yang bisa ditunjukkan. Dan ayahpun tak berkata apa-apa padaku tentang rencananya. Seandainya ayah bilang, pasti kubantu hingga selesai.

Sampai di kelas, lampion itu masih kusembunyikan, bahkan dari mata-mata kelompokku.

Tiba waktunya untuk mengumpulkan. Kelompok dari Mei dan Rini sudah selesai mengumpulkan. Tapi kata wali kelasku, lampion itu salah karena terbuat dari pita kado dan berbentuk kecil-kecil bulan penuh simpulan dan rangkaian. Maka nilai kedua kelompok itu dikurangi. Lalu disusul yang lainnya.

Semua orang memandangku karena belum juga mengumpulkan hasil prakarya. Padahal sebenarnya aku sedang mengumpulkan tenaga batin dan lahiriah untuk berani bertanya pada wali kelasku yang terkenal galak itu. Beliau menganggukkan kepala tanda meminta.

 

“Bu, sebelum saya mengumpulkan hasil prakarya, saya ingin bertanya?” teman-temanku satu kelas menoleh padaku yang bersuara.

“Boleh, tentang apa?” tanya balik dari wali kelasku itu.

“Jika lampion itu terbuat dari kertas lain, apa diterima? Karena saya rasa kertas HVS itu kaku dan sulit dikendalikan jika sudah dilem?” berani juga aku akhirnya.

“Boleh. Asalkan benar-benar bentuk lampion dan tidak salah seperti kedua kelompok milik Mei dan Rini tadi,” berarti wali kelasku ini setuju.

 

Dengan perlahan kukeluarkan kertas lampion itu dari dalam tasku. Sedang teman-teman satu kelompok denganku segera mendatangi bangkuku. Dengan setengah berbisik, aku segera memberitahu mereka. Mereka sontak gembira bukan alang kepalang dan segera membantuku membuka lampion di bawah mejaku. Sedang kelompok lain tampak berdesas-desus tanda ingin tahu. Lampion itu kami lem sedikit dan tinggal menarik talinya. Tali yang biasa kugunakan untuk bermain layang-layang besar berbentuk kupu-kupu dan pesawat bersama ayah di depan rumah atau digunakan para tukang untuk membatasi tanah yang akan disemen atau ditekel. Aku tak tahu namanya.

Segera aku maju ke depan menyerahkan lampion itu. Dan kau tahu, kawan...?

Lampion itu paling berkilau dan indah di antara yang lain. Maka kudapatkan nilai tinggi.

 

Tapi aku berjanji dalam hati. Jika aku membuat prakarya lagi, aku tak akan mengerjakannya di depan ayah. Karena bisa-bisa yang mendapat nilai itu sebenarnya bukan aku, tapi ayah. Dan ayah begitu memahamiku, beliau melakukannya semata-mata karena kelompokku tak punya waktu lagi. Dan akhirnya di prakarya kelas enam nanti, aku dan kelompokku hanya diawasi saja oleh ayahku. Aku meminta beliau agar tidak turut serta, aku tak mau membuatnya susah ataupun mendapat nilai bayang-bayang saja.


Dalam segala hal beliau ini sangat baik jika kunilai, termasuk kejujuran. JUJUR adalah yang terbaik. “MESKI HASILNYA TAK TERLALU BAGUS, TAPI LEBIH MEMUASKAN KARENA BUATAN SENDIRI,” begitu kira-kira ungkapan beliau padaku.

Itu yang sedari kecil didorong ayah padaku, meski terlanggar kali ini karena kepepet.

Aku bisa memahami. Dan nilai-nilaiku yang lain masih dalam bentuk seni berupa menggambar, menyanyi dan prakarya kelak menjadi acuan nilai selanjutnya di SMP-ku.


AYAHKU ADALAH YANG PALING BAIK DI SELURUH DUNIA...




(to be continued... next : Terkenang kisah bagian 2...)


5 comments:

ummine fathin said...

ditunggu sambungan nya ya mb...

Likah - Syafa Azizah said...

baik ummi, sabarlah menanti... ^_^

ternyata ummi mo ikutan baca buat dapetin hadiahnya juga, ya…
yo, SELAMAT MEMBACA...

Muslimah Sholehah said...

Penasaran juga untuk membaca lanjutannya.
Terima kasih sharing nya mba.

Likah - Syafa Azizah said...

baca juga kisah-kisah sebelumnya, yah... ^_^

Likah - Syafa Azizah said...

http://muslima10.multiply.com/journal/item/131

pembaca klik ini juga yah...