Thursday, 25 December 2008

[my journey - part 18] – Terkenang kisah bagian 2...

Kawan tentu masih ingat tentang sebab musabab aku dijuluki luwak oleh ayahku. Dimana kupikir binatang itu tidak ada, ternyata aku berjumpa juga dengannya. Sayangnya engkau tidak ada di sana saat itu, atau belum sempat berkenalan denganku, kawan...

Padahal kau bisa menitip salam padanya jika kau sudah mengenalku saat itu, hehe...

 

Baiklah akan kutuliskan lagi untukmu. Tapi ingat ya? Selepas episode dua puluh lima, aku tidak akan menuliskan lagi kisah-kisahku. Karena itu rahasia kepenulisanku untuk membuat novel.  Juga jangan MEMPENGARUHIKU untuk membocorkan tulisan selanjutnya. Aku tidak akan terlena oleh bujuk rayumu. Jadi setelah itu kau tak bisa membacanya lagi di tulisan-tulisan ke depan. Mungkin kau harus menabung dulu untuk membeli novelnya nanti jika sudah jadi. Do’akan aku dan kau kudo’akan juga, jadi SAMA-SAMA MENDO’AKAN.

Agar kau bisa menabung untuk membeli bukunya dan agar aku bisa segera terbitkan bukunya. Amiin.

 

Saat itu kira-kira selepas Isya’, aku dan ayah menonton tivi di ruang keluarga dekat halaman tengah yang ada pohon mangganya, yang juga dekat dapur serta gudang. Tak usah kau bayangkan bagaimana bentuknya.

Tiba-tiba lampu penerangan di dapur padam. Aku dan ayah segera keluar memeriksa. Tidak ada siapa-siapa di dapur. Lalu ayah segera menyalakan kembali lampu dapur itu. Dan tahukah kau, kawan?

Rupanya ada sesuatu di gudang kami. Lalu ayah segera menutup pintu gudang yang berkaca itu dan segera memanggil beberapa tetangga. Ada apa gerangan?

Kata ayah, itulah binatang yang dinamakan luwak. Atau dalam bahasa latinnya disebut Paradascursus.

Kupikir sebelumnya, binatang yang berekor panjang dan sebesar kera itu akan ditangkap dengan jaring. Tetapi ternyata dari mereka ada yang membawa kayu serta apa saja untuk memukul. Mereka masuk dan pintu gudang ditutup kembali. Aku, ayah, teman-teman tetanggaku dan juga beberapa orang dewasa lain melihat dari luar gudang. Agaknya mereka sudah membuat luwak itu tak berdaya dan dibawalah keluar. Jika kuperhatikan, binatang itu bermuka seperti srigala tetapi badannya persis kera. Bulunya halus rapi seperti kucing yang keluar dari salon. Aku tak habis pikir mengapa ia bisa masuk ke dalam rumah. Apa dia lewat pohon-pohon belakang rumah dan menuju atap terus turun kemari?

 

Akhirnya luwak itu dibawa keluar untuk dipamerkan ke warga lain. Sedang aku dan ayah kembali masuk rumah. Kulihat ayah tersenyum-senyum. Kuibaratkan persis insan yang memenangkan undian berhadiah rumah mewah beserta perlengkapannya. Dan kau tahu apa yang dikatakan ayah padaku kemudian, kawan?

 

“Nduk, AKHIRNYA KAU BERTEMU JUGA DENGAN SAUDARAMU.”

 

Aku tak ikut tersenyum. Tetapi mukaku kulipat-lipat persis orang tak punya pesangon setelah di-PHK.

Ternyata takdirku mengatakan bahwa aku memang akan berjumpa dengan binatang yang namanya kerap disematkan padaku saat aku menyeringai. Binatang yang kata orang suka meringis akibat lapar takut mati dan jika kekenyangan juga takut mati. Itulah luwak.

 

Belum selesai ingatan tentang luwak. Kali ini masih berkaitan dengan binatang yang suka menyelinap masuk  ke dalam rumah. Mungkin binatang-binatang itu lebih betah tinggal di rumah daripada di kebun belakang yang mirip hutan itu.

Aku keluar dari kamarku dan menuju ruang makan dekat dapur. Baru beberapa langkah, di depanku tepatnya di ujung pintu dekat tivi, seekor ular sendok atau yang kau kenal dengan ular kobra, kawan...

Kepalanya tegak jejak, sedang bersiap-siap hendak menelan mangsa. Mungkin dia mengambil posisi itu karena mendengar suara langkah kakiku. Aku berusaha mundur pelan-pelan dan ular yang bentuknya tak seberapa besar itu, mungkin masih anak ular, masih diam di tempatnya. Aku menutup pintu kamarku dan segera keluar kamar dari pintu sebelah lain. Kupanggil ayahku yang berada di meja makan.

Memakai kayu, ayah segera mengambil ular itu pelan-pelan dan segera melemparnya ke belakang rumah agak jauh dari kebun. Lalu dibantu tetangga, ular itu mereka bunuh di luar sana.

 

Ya, kawan...

Ternyata kini kami tahu mengapa tiba-tiba ayam-ayam kami banyak yang mati mendadak. Tidak ada penyakit, tapi pagi-pagi kami temukan darah di badan ayam-ayam itu. Rupanya ia digigit ular yang juga bernama Naja Sputatrix itu. Padahal aku sering sekali ke belakang rumah untuk memanjat pohon salam, menyapu kebun yang sangat luas sampai pohon bambu dekat sawah. Kadang juga mencari sogok tuntheng, biji-bijian kecil yang berwarna merah dan hitam untuk hiasan itu. Entah apa sebutannya dalam Bahasa kita Indonesia. Tak kutemukan di dalam kamusku. Atau bermain bunga daun katuk (Saurapus Androgynus) untuk ditaruh di telinga diberi tali mirip anting-anting. Kalau di tempatku, tanaman ini tak pernah dimasak dan dianggap tanaman liar. Atau juga aku mencari kata’, semacam tumbuhan merambat yang buahnya berkulit hitam dan di dalamnya ada yang berwarna hijau atau merah. Kalau kau ingin mencarinya, kau pilih saja yang berwarna hijau, karena yang berwarna merah itu beracun. Lalu rebuslah dengan air. Dan segera nikmati hasilnya. Tapi sekali lagi, meski kegiatanku banyak di belakang rumah yang berupa hutan itu, tak pernah kutemukan ular satupun di sana. Aku merasa aneh.

Tapi kalau bertemu ulat bulu atau ulat gatal, aku pernah. Aku tak tahu sebabnya, karena saat itu aku sedang menyapu halaman depan rumah di bawah pohon jambu. Tiba-tiba saja, satu dua kali badanku terasa gatal bukan main. Akhirnya sekujur badanku itu, dua hari tak sembuh-sembuh gara-gara kemarahan ulat ini. Duh, bengkak disana-sini dan pedih karena dibaluti garam dapur untuk penawar. Rasanya aku ingin sekali membeli pestisida* agar tak ada ulat-ulat itu lagi di pohon jambu depan rumah.

 

Oh ya, pernah juga ayam-ayam kami dicuri orang, sehingga kandang menjadi rusak. Mungkin dia melompati pagar dari sisi dekat rumah penduduk lain.

 

Padahal kawan...

Di belakang rumah itu jika sudah malam sangat gelap sekali. Bisa membuat bulu kuduk merinding. Apalagi saat kecil dulu, aku harus ditemani ayah ke belakang jika tengah malam terbangun ingin menuntaskan panggilan alam yang tiba-tiba. Sudah besar kau harus  berani. Nyalakan saja senter dan lampu dekat kandang itu secara terus-menerus sampai selesai. Lalu segeralah berlari ke dalam rumah dan menenangkan deru napasmu di dalam kamar. Seraaaaaaaaamm...!

Terkadang ada suara burung aneh yang suka mengagetkan jika pagi tiba. Di balik rerimbunan pohon dan juga embun pagi, suara itu begitu mencekam kurasa. Seperti sedang menangis atau merana kesepian. Entah burung apa itu namanya, aku tak bisa berkenalan dengannya.

 

Di waktu lain, tampak kulihat ayah sedang sibuk bersih-bersih di belakang rumah. Sedang kakak perempuanku dan ibu sedang sibuk memasak di dapur. Lalu ayah menyorongkan sebuah ember berisi air yang sudah sangat keruh, sehingga tak terlihat apa yang ada di dalamnya kepadaku.

 

“Apa itu ayah?” tanyaku penasaran juga.

“Ikan. Coba kau tangkap ikan di dalam ember itu,” ayah memintaku sambil tersenyum.

 

Aku pun mencoba untuk menangkap ikan yang dimaksudkan ayahku itu. Sekali dua kali, masih tak dapat. Hingga aku akhirnya kelelahan. Aku bilang pada ayah, aku menyerah. Tapi saat ayah melihat aksiku tadi, aku tak memperhatikan ada rahasia tersembunyi. Ayah kembali tersenyum.

Dan tahukah kau, kawan? Ayah segera menyiramkan air itu di atas tanah hingga habis dan tampaklah binatang yang tadi sudah kucoba menangkapnya tak dapat-dapat. Aku menjerit tak tertahankan.

Ternyata isinya belut. Sungguh...! Aku takut dengan belut, karena kepalanya mirip dengan kepala ular. Aku mendelik tanda marah. Tapi segera kubantu ayah untuk membersihkan kebun. Ampun...!

 

(to be continued... next : Terkenang kisah bagian 3...)