Thursday, 25 December 2008

[my journey - part 20] – Terkenang kisah bagian 3...

Kawan...

Jika kau tanya padaku tentang aneka keahlian. Maka semoga dapat kujawab, hehe...

Sekali lagi, AKU INI SOK TAHU ditambah lagi SERBA BISA.

Aku belum pernah memegang alat musik bernama piano. Tetapi aku mengenal pianika dan juga organ. Awal mula bermain pianika, kau harus mengetahui nada-nada dengan baik. Aku diajarkan ayah sejak masuk SD. Maka hari-hari jika aku sedang suntuk, kumainkan pianikaku.

Pianika ini istimewa, meski sudah lawas sejak zaman ayah menjadi guru di desa lain. Masih berwadah bagus dan juga tertera tanggal pembeliannya serta tanda tangan ayah di dalam wadah itu.

Aku memainkan lagu apa saja, kawan...

Mulai dari lagu-lagu perjuangan hingga lagu-lagu daerah. Tapi yang menjadi kegemaranku adalah lagu yang bersyair, “Desaku yang kucinta pujaan hatiku, tempat ayah dan bunda dan handai taulanku. Tak mudah kulupakan, tak mudah bercerai. Selalu kurindukan... desaku yang permai.”

Syahdu mendayu, bukan? Aku kerap menangis menyanyikannya.

 

Jika lagu daerah, aku suka lagu “Kampuang nan jauh di mato.” Lagu dari Sumatra Barat yang nadanya kerap terpakai untuk menyanyikan lagu layang-layang. Maka lagu layang-layang ini juga favoritku saat musim kemarau tiba. Musim  dimana aku dan ayah serta anak-anak desa bermain layang-layang. Kau akan mendapatkan angin kencang di musim ini.

 

Alat musik lain yang dikenalkan ayah adalah seruling bambu. Tapi aku tak bisa memainkannya dengan baik, kecuali seruling berwarna putih yang bermerk ‘Yamaha.’ Sedang ayah dengan nada yang bertempo cepat seperti lagu “Tujuh Belas Agustus,” maka beliau mahir sekali. Lalu ada biola. Aku memandang biola dengan takjub, karena kuanggap benda ini adalah benda yang eksklusif sekali. Tapi tetap saja jari-jemariku tak luwes memainkannya. Biarlah, aku jadi pendengar saja. Mungkin bukan bakatku untuk bermain biola dan juga alat-alat musik bersenar lainnya. Meski tidak menutup kemungkinan kelak akan bisa. Entah kapan kutemui benda itu lagi.

 

Selain bermain musik, aku juga mahir untuk bermain badminton atau catur, kawan...

Dengan mudah kau akan kukalahkan, hehe...

Tapi sudah lama tak genggam mainan bernama catur, mungkin aku akan kalah jika kau ajak bermain sekarang. Sedang badminton, aku pernah mendapat juara. Meski tak sehebat Susi Susanti, tetapi aku sudah cukup merasa puas. Menjadikan itu sebagai olahraga dan hobi saja.

 

Lalu menyulam. Aku bisa mengajarimu menyulam jika engkau perempuan. Menyulam kruisteek adalah hal pertama yang kupelajari dari kakak angkatku yang bekerja di Surabaya saat kelas tiga SD. Kau sudah tahu namanya, kan?  Mulanya hasilnya tak bagus, tapi kemudian aku mengerti hitungannya. Jika dia pulang ke rumah sepekan sekali, dia membawa hasil karyanya berupa kruisteek yang sudah diberi bingkai. Dia juga kerap membawa ikan bandeng untuk dimasak bumbu bali. Itu adalah makanan kesukaan ayah. Padahal durinya sangat banyak sekali. Aku kadang mau, kadang tidak ikut makan.

Karena aku ini suka alergi pada binatang laut dan juga telur. Ikan-ikan di pasar yang dijual orang kebanyakan adalah ikan sungai, karena daerahku jauh dari laut. Maka jika ada ikan laut, biasanya sudah berupa ikan asin atau gerih (ikan tongkol kecil-kecil yang diwadahi bambu yang dijalin).

Nah, ikan gerih inilah yang memberi trauma padaku. Saat sehabis memakannya, sekujur badanku gatal bukan main. Hingga mulutku juga gatal, meski sudah kucoba tak menggaruknya, tetap saja bengkak.

Maka kau sudah tahu akibatnya. Aku terpaksa menutupi mulutku dengan sapu tangan saat sekolah. Karena bengkaknya besar bukan main. Saat temanku bertanya kenapa, syukurlah sudah agak kecil di siang hari. Kutunjukkan kalau mulutku bengkak sehabis makan gerih. Dia hanya tertawa. Kakak-kakakku dan ayah ibu juga tertawa melihatku. Beraninya mereka tertawa di atas penderitaanku yang tak terperikan.

Kau bisa bayangkan bagaimana mulut yang bengkak itu, kan? BENAR-BENAR MEMALUKAN.

 

Selain menyulam itu kawan, aku juga diajari ayah menjahit. Tapi saat itu belum semua kukuasai dengan baik. Jadi belum kulanjutkan lagi, masih sibuk belajar untuk sekolah dulu.

 

Jika sepatumu sudah robek, kau harus menjahitnya sendiri, kawan...

Biasanya jika sepatuku robek di bawahnya yang bagian pengelemannya, itu artinya masih bisa dijahit. Kecuali sudah robek di bagian ujung sepatu karena lubang besar, maka sudah saatnya kau tukarkan sepatumu itu dengan manisan pada orang yang lewat. Ya, biasanya di desaku barang-barang bekas tidak ditukar dengan uang, tetapi dengan manisan berwarna merah yang kerap kau jumpai di pasar hiburan.

Saat itu ayah melihat sepatuku sekilas, lalu aku diberinya benang sepatu yang kuat berwarna coklat dan hitam serta jarum besar bergagang kayu yang ujungnya ada pengait mirip kail ikan. Rupanya ayah hendak mengajariku menjahit sepatu. Satu dua kali kulihat caranya, lalu diserahkan lagi padaku. Aku mencobanya, rupanya harus kuat sekali menarik benangnya. Tanganku merah-merah dibuatnya.

Akhirnya aku bisa, kawan...

Jadi setiap sepatuku masih bisa kuperbaiki, aku akan menjahitnya sendiri. Tinggal kau sediakan bahan untuk menjahitnya saja.

 

Aku teringat saat beberapa waktu kutemui kakak laki-lakiku saat berkunjung ke rumahnya dulu. Aku bertanya, mengapa dia yang laki-laki bisa memasak dan membuat jamu yang notabene milik perempuan?

Inilah jawabannya, “Nduk, selama pekerjaan itu masih terlihat oleh mata manusia. PASTI KAU BISA MENGERJAKANNYA.”

 

Maka dapat kau mafhumi, kawan...

Mengapa aku bisa menyemen dan membuat batu bata. Dulu, sekarang tak pernah lagi. Atau terkadang kau menemukanku sedang melakukan apa saja yang kau tak bisa. Itu adalah buah dari keseriusan. Bahwa apapun itu jika merupakan hal yang baik, tak ada gunanya gengsi atau kau abaikan. Karena kelak akan menjadi kebutuhanmu dalam kehidupan sehari-hari. Inilah pesanku yang kesekian kali. Kau mau kan menerimanya?

Maka kelak aku ingin juga kau nasihati. Karena itu menjadi kebutuhanku sejak kecil. Bersama orang-orang yang kucintai dan akhirnya aku membenarkan pendapat serta nasihat mereka yang baik untuk kuterima. Bukankah itu untuk kebaikanku sendiri? Aku sudah menerima hasil dari nasihat mereka itu. Dan aku akan mendengarkan dengan seksama atas nasihatmu. Karena itu juga untuk kebaikanku serta kebaikan bersamamu. Maka nasihatilah aku. Aku akan tersenyum untukmu.

 

(to be continued... next : Ayo bergeser...!)