Monday, 29 December 2008

[my journey - part 23] – Berpetualang bagian 2...

Rimba raya... alam...

Hmmm, penuh dengan tantangan, kadang menakutkan dan juga merupakan pembacaan akan ke-Maha Agungan-Nya. Karenanya suka sekali memakai background berupa alam atau memotret alam. Pramuka sangat menyenangkan bagiku, entah bagimu, kawan...

Alam itu selalu indah untuk disimak dan dihayati untuk semakin menambah rasa syukur. Subhanallah...

 

Lagu yang kusukai sejak ikut pramuka di SD adalah yang bersyair...

“Di tengah-tengah hutan, di bawah langit biru. Kemah terpancang ditiup sang bayu-sang bayu. Api menjilat-jilat, menerangi alam raya. Membawa kelana rimba dalam impian. Dengarlah-dengarlah, sayup-sayup.. suaranya merdu ‘kan memecah malam. Jauhlah dari kampung, menurut kata hati. Guna bakti pada ibu pertiwi...”

 

Hehe, kau kuminta bersyair terus...

 

Selepas menjadi Penggalang Ramu di kelas satu SMP dulu, kali ini banyak ujian untuk masuk tingkat selanjutnya, yaitu Penggalang Rakit. Beberapa syarat harus dipenuhi, seperti menambah tempelan-tempelan di baju lengan kiri untuk syarat kecakapan umum (SKU) dan syarat kecakapan khusus (SKK). Mulai dari memasak, berpetualang setiap hari Minggu untuk menambah tempelan-tempelan itu. Akhirnya tiba saat untuk pelantikan Penggalang Rakit.

 

Kawan masih ingat wali kelasku kelas satu bernama Pak Eka, kan? Beliau juga salah satu pembina pramuka di sekolah. Dan lokasi yang dipilih untuk pelantikan kali ini adalah di desa Sugihwaras. Ditemani sisa hujan semalam, membuat baju basah dan juga tanah becek penuh lumpur dimana-mana. Tempat pelantikan itu berupa lapangan sepakbola yang luas. Di sebelah utara dan timurnya adalah berupa rumah-rumah penduduk. Lalu di sebelah baratnya adalah sungai yang berukuran sedang serta sawah-sawah. Dan di sebelah selatannya sawah yang sangat luas sekali. Bisa kau bayangkan kan, kawan?

Teman-temanku juga banyak yang berasal dari desa ini, termasuk teman sebangkuku di kelas satu dulu.

 

Sebelum semua anggota dilantik, termasuk kelas satu dan tiga. Kami murid-murid yang kelas dua harus membantu pembina memimpin adik-adik kelas untuk berbaris dan juga memberi tugas. Begitu selesai, tiba-tiba datang suara yang memberi tugas kami untuk lari keliling lapangan selama 10 kali. Katanya dari kami ada yang salah memberikan tugas untuk adik kelas, jadi hukuman harus ditanggung bersama sebagai rasa kesetiakawanan. Ampun...!

 

Begitu usai pelarian tadi, kami pun diminta untuk berbaris rapi. Kemudian diminta menghadap ke sungai. Kami mencoba menebak-nebak, apalagi kali ini?

Muka kami dicoreng-moreng persis lukisan pada tubuh harimau. Entah memakai apa, tetapi terasa lengket dan berminyak. Benar-benar kami tak tahu bagaimana bentuk paras kami, apalagi aku yang cantik ini, hehe... GUBRAK...!! Intermezo...

Kami dimarahi habis-habisan seperti seorang pencuri yang tertangkap basah. Memang salah apa? Hmm... selalu begitulah taktik dari pembina. SUKA MARAH TANPA ALASAN YANG TIDAK JELAS.

 

Kemarahan yang belum usai itu kemudian meminta kami untuk masuk ke dalam sungai sebagai hukuman selanjutnya. Sungai yang lumayan itu, sungguh tak kuduga kalau akan diminta masuk ke sungai.

Kedua tangan harus di atas kepala, sementara badan kami harus tenggelam di sungai hingga tinggal kepala saja yang timbul. Padahal kawan? Namanya sungai, apalagi hujan... yang pasti kotor tidak karu-karuan, berisi berbagai jenis kotoran manusia dan binatang. Apalagi baru saja ada orang selesai memandikan kambing-kambingnya di sungai itu dan juga binatang lain yang tak bisa kusebut namanya. Ampun...!

Aku lebih suka got-got sawah daripada harus begini. Meski sama-sama kotor, tapi berbeda menurutku. Menyiram tanaman di sawah sekaligus mencari cacing atau ikan-ikan kecil untuk memancing. Kau suka memancing, kawan? Hiii... Kau pasti geli membayangkannya, TAPI BENAR-BENAR MENYENANGKAN...!

Kembali ke sungai tadi, yah...? Meski sudah dihukum begitu, kami masih harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dan menyanyi. Benar-benar hukuman terberat di antara hukuman yang pernah kuterima, kawan...

 

Hukuman di sungai itu sempat membuat salah satu temanku yang laki-laki pingsan, dan diangkatlah ia ke atas sungai. Setelah agak lama kira-kira setengah jam, barulah kami diperbolehkan untuk naik ke atas sungai.

Masih banyak aktivitas lainnya, kawan...

Tapi tak perlu kukisahkan apa saja aktivitasnya. Hmmm... benar-benar seru dan haru mengikuti pramuka itu.

 

Acara puncak pelantikan pun tiba, kami diminta berbaris rapi untuk semua tingkatan. Menyanyikan lagu Mars pramuka SMP dan juga sumpah setia. Akhirnya usai sudah acara pelantikan yang sedari pagi hingga sore itu. Aku pulang dengan baju basah kuyup dan penuh lumpur dimana-mana.

Kukayuh sepeda seringan mungkin, karena sudah capek sekali. Sesampai di rumah, ayah tertawa-tawa melihatku pulang dalam keadaan yang sudah tak berbentuk lagi. Padahal aku sudah capek setengah mati, tetap saja ayah tak peduli. Duh, ayah...

Mandi dan segera ingin tidur. Hmmm... sekaligus senang sudah naik tingkat lagi.

 

                Aku juga teringat saat awal masuk kelas dua untuk mengikuti kemah di sekolah. Tengah malam dibangunkan setelah seharian juga penuh kegiatan. Kami semua tak tahu, untuk apa dibangunkan. Perintah lima menit harus memakai pakaian rapi dang lengkap harus segera ditunaikan. Tapi ada juga yang masih tak pakai sepatu atau seragam. Syukurlah, aku tak melepas baju seragam sewaktu akan tidur tadi, tinggal memakai sepatu dan mengambil tongkatku. Pertamanya wajah kami dicoreng-moreng terlebih dulu, baru kemudian pemimpin barisan yang juga ketua regu diminta untuk memimpin perjalanan. Rupanya kawan, inilah yang dinamakan dengan jerit malam. Dan tahukah kau apa maksudnya? Teruslah membaca.

 

                Mula-mula aku masih bersantai melewati beberapa desa dan dengan tenang berada di belakang barisan. Malam pekat, hanya lampu-lampu jalanan dan juga senter yang dibawa. Setelah mengikuti beberapa petunjuk yang dipasang di jalan-jalan, tibalah barisan ke sebuah gang yang rimbun banyak pepohonan, lebih tepatnya kusebut jalanan sawah. Tiba-tiba aku merinding, karena jalanan di depan semakin gelap saja. Meski juga ditemani sinar rembulan, tapi menurutku tetap pekat dan gelap. Aku menyerobot tanpa permisi untuk masuk ke tengah barisan.

Benar saja, rupanya jalanan di depan itu adalah kuburan. Dengan membaca sedikit doa-doa yang kuhapal, aku juga meminta maaf ke temanku karena pindah tempat tadi. Tiba-tiba... GLONDAANG...!

Dari balik rerimbunan pohon di sebelah kiri kami, kulihat bayang samar-samar. Kuperhatikan dengan teliti. Oh...! Rupanya salah satu pembina kami. Tapi tak tampak siapa di situ. Aku tersenyum-senyum saja. Hilang rasa takut. Tapi sedikit.

 

                Kuburan itu luas sekali. Rasanya kami tak sampai-sampai ke jalan keluar. Sedang di sebelah kanan jalan kami, penuh dengan makam-makam yang sedang tertidur. Tak berani kutoleh muka kesana, takut ada yang tiba-tiba muncul berupa bayangan putih dan menyerang. Serrrraaaaaaaam...!

Rupanya dari sekian banyak keberanian dan kebandelanku yang tak henti sejak kecil. Dapat kusimpulkan satu hal di sini untukmu, kawan...

Aku TAKUT GELAP.

 

Akhirnya keluar juga kami dari kuburan itu dan segera kembali ke kemah setelah memberi laporan. Kelak di kelas tiga, saat aku ikut kemah lagi. Jerit malam ini ditiadakan untuk adik-adik kelasku. Sebabnya belum juga dilakukan, banyak anak-anak perempuan menangis lebih dulu dan mengadu padaku. Mereka takut dengan jerit malam. Padahal ini semestinya rahasia. Kenapa bisa bocor ke mereka?

Tapi alasan lain dari kami semua dan juga para pembina, karena kuburan yang kami lewati dulu itu sedang diperbaiki. Kami tak mau mengambil resiko jika terjadi kesurupan atau hal-hal yang tak diinginkan.

 

                Sebagai gantinya, kami membangunkan adik-adik kelas untuk bermuhasabah di lapangan depan sekolah. Tahukah kawan apa muhasabahnya?

TENTANG KEHILANGAN ORANG-ORANG YANG KITA CINTAI... DAN JUGA TENTANG KEMATIAN. Suara pembina dipelankan dan amat menyayat hati, serasa dialah yang sepertinya sedang berhadapan dengan itu semua. Kami juga.

Lebih menyeramkan untukku daripada jerit malam. Aku bahkan menangis membayangkan hal-hal kedepan. Teman-temanku juga. Dan peristiwa ini jugalah yang kelak akan mengubah hidupku.

 

(to be continued... next : Dunia berguncang...)