Jika aku terbiasa melihat ayah dengan senyumannya yang menawan hatiku. Maka dapat dipastikan, hari-hariku terlewati dengan begitu indah. Kali ini suasana sepi dan menegangkan tak terkira. Karena aku tak pernah mendapati keadaan seperti ini.
Saat itu di rumah adalah akhir pekan yang tidak terlupakan olehku. Dimana kakak angkatku Isjayanti dan suaminya pulang dari Surabaya. Kejadian ini terjadi pada hari Minggu, saat mereka akan kembali ke Surabaya. Entah bagaimana awal mulanya, karena aku sedang berada di belakang rumah. Tiba-tiba saja kudapati kakak perempuanku tampak bingung dan gusar. Sedang kakak angkatku tampak berwajah geram sedang menahan sesuatu yang tak kuketahui. Aku bertanya pada kakak perempuanku tentang apa yang terjadi. Rupanya kakak angkatku telah salah memakai setrika. Dikira setrika itu adalah milik ibu, jadi dipakainya untuk menyetrika baju. Lalu orang jahat bernama Wiwik itu bertanya pada kakak perempuanku, siapa yang sudah memakai setrikanya, karena ada goresan pada setrika itu.
Aduh...! Perkara tergores kecil saja diributkan orang dewasa. Benar-benar permusuhan abadi antar keluarga. Belum juga selesai cerita dari kakakku, ayahku tiba-tiba keluar dengan geram mirip serigala marah karena kehilangan mangsa. Wajahnya menakutkanku yang terbiasa bertatap dengan wajah lembutnya.
“Sudah cukup...! Aku mau salah satu dari kalian antara Is dan Wiwik meninggalkan rumah ini segera...! Atau kalau tidak, aku yang akan pergi...! Apa kalian mengerti. Aku sudah capek sekali mengurusi kalian yang tidak mau saling mengalah...!! Dengar itu...!!”
Braaaaaakkkk...!
Sapu yang ayah pegang beliau patahkan menjadi dua, dibenturkan pada tiang tak bersalah.
Kedua kakak perempuanku itu menangis di dalam kamar. Sedang aku tak berkata apa-apa, masih sangat kaget. Betapa ayah sudah berubah di mataku dan kurasa perasaan ayah ini sudah terpendam sejak lama. Tidak terungkap oleh siapapun bahkan juga olehku. Rumah hening dalam waktu yang lama. Ibu juga diam tak bersuara. Aku tak sanggup mengatakan perasaanku yang hancur luluh tak bertepi. Sungguh, menurutku inilah dunia yang berguncang melebihi bom Hiroshima dan Nagasaki. Melebihi tsunami yang melanda daerah barat Indonesia.
Aku kehilangan kata-kata dan senyum, seolah-olah kata-kata ayah itu juga tertuju padaku, meski tak begitu.
Kakak perempuanku dan suaminya pun pamit pada ayah ibu untuk kembali ke Surabaya, setelah keadaan tenang seperti semula.
Oh ayah, esok akan kulipur hatimu dengan senyumku. Akan kubuat ayah tersenyum kembali seperti hari-hari yang terlewati bersama. Akan kuajak ayah bercerita di tempat terindah, di taman alun-alun itu.
Ayah tersenyumlah. Aku sangat merindu pada senyuman ayah itu.
(to be continued... next : Nasihat Pak Taslim...)
1 comment:
http://muslima10.multiply.com/journal/item/131
pembaca klik ini juga yah...?
Post a Comment