Pelajaran sudah mulai. Kembali lagi belajar di kelas dengan semangat tak henti. Sebenarnya yang akan kukisahkan ini adalah cerita pada saat awal aku masuk kelas dua, kawan...
Tapi tak mengapa, alurnya masih bisa terlacak olehmu, kan?
Kukenalkan padamu salah satu guru yang amat berjasa. Bahkan kata-katanya ini, kelak menjadi perubahanku di waktu-waktu yang akan datang. Beliau guru agama di kelasku, juga di beberapa kelas lain. Guru agama yang tak henti-henti memberi nasihat berharga di setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya.
Saat itu adalah awal pelajaran agama di kelas dua. Wajah beliau tampak seram kurasa, tapi ternyata penuh candaan tak henti dan juga sangat lihai dalam meyakinkan murid-muridnya. Lebih tepatnya untukku.
“Yang namanya aurat itu, untuk perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan dan wajah,” aku serius mendengarkan seolah-olah ada tarikan magnet pada kata-katanya meski dianggap angin lalu oleh teman-temanku lainnya.
“Tangan kita pun juga aurat, tidak boleh mentato untuk perempuan dan laki-laki. Karena tidak akan sah sholatnya. Allah melarang hal itu, kalian paham?” tanyanya kemudian.
Kami semua mengangguk-angguk takzim, tanda memahami. Tapi bagi beberapa temanku yang lain, tentu hal ini terlewatkan begitu saja. Tidak dimasukkan dalam pemikirannya. Benar-benar temanku yang bandel. Masih saja ribut.
Dan aku sedang mencerna maksudnya. Berarti selama ini aku tidak menutup aurat. Aku baru tahu, ternyata aurat itu seluruh tubuh. Padahal aku sering mengabaikan perintah mengaji budheku dan juga ibu, belum lagi pelajaran agama kuanggap adalah hal yang tak penting untukku.
Aku belum bertanya saat ini, tapi kusimpan rapat-rapat pengetahuan yang baru kuketahui itu di dalam hati.
“Oh ya satu hal lagi. Jika buku-buku kalian dari sekolah berupa buku paket atau LKS, biasanya meminta uang dari orang tua kalian. Kali ini buku agama harus kalian tabung sendiri dari uang saku kalian. Kalian pasti bisa menabungnya, harganya kan tidak terlalu mahal. Saya tak mau kalian meminta uang orang tua, harus mandiri dari sekarang. Dan kalau bisa, buku-buku lain pun bisa kalian bayar dari tabungan kalian juga. Jika ada yang melanggar ada hukumannya. Kalian mengerti, kan?” tanya beliau dengan sungguh-sungguh sambil mengayun-ayunkan lututnya di bawah meja.
‘Mengerti, pak...!” jawab teman-temanku serempak.
“InsyaAllah...” jawab hatiku.
Sejak saat itu aku berusaha menabung dari uang sakuku yang hanya dua ratus lima puluh rupiah. Kadang semua kutabung. Tidak jajan, seharian kutahan laparku. AKU PASTI BISA. Dan aku memang bisa menabung, bahkan buku-buku lain juga bisa kubayarkan dari tabunganku itu. Senangnya hatiku, kawan...
Sebenarnya sejak kecil aku sudah diajari menabung oleh ayah ibuku di rumah. Aku dan kakak perempuan punya celengan dari tanah liat berwarna hijau dan merah. Tapi yang kujumpai selalu sedikit uangku itu, kemana gerangan isinya. Kadang kutabung juga berupa uang kertas, dari kakak angkatku Isjayanti atau dari siapapun. Uang recehan yang tidak ada. Rupanya lubang celengan bertambah besar. Jika bukan ibuku mengambil untuk belanja, kadang kakakku juga. Duh, ada-ada saja. Maka aku sudah jarang menabung. Tapi pernah juga celenganku itu penuh, kawan...
Maka kunikmati hasilnya dengan membeli baju.
Jika kau punya uang banyak pemberian dari siapapun, jangan kau titipkan pada ibu. Tak akan ada yang kembali, karena ibu memakainya untuk belanja dan tidak diganti. Bahkan ibu ini orangnya pelupa dan sudah pikun*. Penyebabnya karena dulu ibu pernah mengalami kecelakaan yang menyebabkan beliau mengalami gegar otak, saat dibonceng naik sepeda motor. Sedang orang yang memboncengnya meninggal di tempat. Maka ibu selalu pelupa. Beliau mencari dompet tidak ketemu-ketemu, padahal sedang dibawanya di bawah ketiak saat akan pergi ke pernikahan tetangga. Kasihan ibuku, aku cinta sekali padanya. Beliau punya penyakit biang keringat dan setiap hari aku selalu kebagian membalur bedak ‘Herocyn’ ke badannya. Duh ibuku, andai ibu tak selalu menggaruk-garuk badan ibu, ingin saja kugantikan penyakit itu pindah padaku. Aku tak tega. Ibuku sudah usia senja. Giginya sudah banyak yang tanggal di sana-sini, tapi tak mau diganti dengan gigi palsu agar bisa mengunyah. Jika makan tempe atau peyek yang keras, selalu diberikan padaku.
Hal lain tentang ibuku. Beliau jarang berdandan. Mungkin hanya berbedak sedikit, memakai baju panjang yang anggun berwarna kalem atau atas bawah batik-batik. Rambut berubannya ditutup dengan penutup kepala berbagai bentuk. Ada yang mirip sanggul atau yang biasa saja. Selalu dipakaikan warna senada dengan bajunya. Cantik pilihannya sehingga sepadan dan serasi dengan kulit putihnya. Satu lagi. Ibu tak pernah membeli bedak atau parfum. Baju ataupun lain-lainnya itu selalu dibelikan ayah. Masih kuingat parfum wanginya merk ‘Vinolia’ yang juga merk sabun keluarga kami sejak kecil. Tapi sepertinya sudah tak produksi lagi sekarang, kawan...
Dan kembali lagi ke perihal tadi. Lebih baik memang kau simpankan saja uangmu pada ayah. Beliau pasti mengembalikannya utuh, asal kau pergunakan dengan baik uang itu. Atau kau titipkan membeli apa saja melalui ayah dengan uang itu. Ayahku bisa dipercaya, kawan...
Aku pernah menitip pada ayah untuk membelikan buku gambar, kuas dan juga cat air untuk belajar melukis, dari hasil tabunganku. Dan ayah membelikannya.
Aku merasa saat itu, dunia penuh dengan orang-orang yang kusayangi. Saat berada di rumah atau ketika kau berada di sekolah, banyak sekali yang mau membantumu. Menasihatimu, menyemangatimu untuk terus belajar. Mengajarimu untuk berbuat yang terbaik pada dirimu sendiri. Maka satu lagi yang kupacu. AKU AKAN MELAKUKAN LEBIH BANYAK HAL LAGI YANG TERBAIK UNTUK ORANG-ORANG DI SEKELILINGKU.
1 comment:
http://muslima10.multiply.com/journal/item/131
pembaca klik ini juga yah...?
Post a Comment