Rumah yang tenang dan damai seperti surga itu... tiba-tiba berubah menjadi kaku dan dingin...
Apa sebab? Yah, kuceritakan dulu, ya kawan...
Anak angkat ayah dan ibuku ada lima, termasuk aku yang paling kecil... aku sudah terbiasa akrab dengan Mbak Is (sekarang tinggal di Sidoarjo dan bekerja di Surabaya... belum kutilik bagaimana kabarnya sekarang), ada Mas Jiman yang merantau ke Pulau Bunyu... sering memberikan oleh-oleh berupa minuman kaleng dari Malaysia... ada kakak perempuanku kandung... Mbak Reni (ia tak masuk yang kelima...)... nah, yang satu ini biasa dipanggil Mbak Wiwik...
Ia adalah keponakan dari Ibu sendiri, jadi masih dikategorikan keluarga... sedang kami, anak angkat yang lain... tidak ada ikatan darah sama sekali...
Nah, rumah yang teduh dan penuh limpahan kasih sayang ayah dan ibu serta kakak-kakakku tadi, kedatangan pendatang yang sudah lama pergi... itu kata ibu... maksudnya ia ikut orang tuanya sendiri di desa sebelah...
Yang kumaksudkan adalah ‘Mbak Wiwik’ tadi...
Kami tak akrab sejak kedatangannya pertama kali... kata ibu sedang berproses untuk menikah dan berencana menikah di rumah ini, lalu tinggal di rumah ini...
Oh, tak kubayangkan sebelumnya... lebih hitam kelam dari kamar pengapku dulu, kawan...
Lebih dahsyat dari masuknya koin 25 rupiah atau melati kuncup yang masuk hidungku...
Kata ibu lagi... ia ingin membantu ayah dan ibu di hari itu... ohya, saat aku kelas empat Sekolah Dasar, kawan... Ayah pensiun menjadi guru, kemudian setahun berikutnya disusul ibu...
Dan acara pernikahan pun digelar... para pendekor ruangan masih berbenah-benah... ibu-ibu sibuk memasak... bapak-bapak sibuk memasang tenda di depan rumah...
Aku seperti biasa... bermain sepulang sekolah... aku melihat ayah, demikian sibuk mengurus segala sesuatu, sampai-sampai tak biasanya aku dicuekin dengan pekerjaannya...
Aku mencoba duduk di tempat duduk untuk ‘pendamping’ (itu lho, anak kecil yang dirias untuk mengipasi pengantin dari kanan dan kiri...)... tapi tak bertahan lama... karena aku diawasi orang bernama ‘Mbak Wiwik’ tadi... sereeeeeeemm...!!
Aku langsung ngacir tanpa rasa bersalah...
Seperti ada janji tak tertulis, bahwa aku adalah musuhnya...
Sepungkas acara... rumah tak lagi nyaman kutinggali, aku serba salah dan dikucilkan... awal mulanya karena aku tak suka melihat pengantin baru itu menyuruh ayah ibu untuk ini itu dan lain-lain... aku dendam bukan kepalang, sama orang tua perlakuannya kok begitu...
Ibu mulai membuatkan teh, tempat tidurku, kakak perempuanku serta ayah dan ibu pun otomatis berpindah ke belakang bekas gudang... padahal, itu adalah rumah ayah dan ibu...
Aku makin gencar bermusuhan... saat ibu sudah selesai meletakkan teh di gelas besar itu, di meja makan depan tempat ayah dulu... aku menaburi bubuk cabai dari bungkus Supermi...
Tak habis pikir, dengan perlakuanku itu... aku merasa puas tak terhingga...
Enak saja menyingkirkan ayah ibu dan mengganggu ketentraman hidup kami... serta menjadikan ayah ibu seperti pembantu... aku jengah sekali...
Awas!! jangan ikuti emosiku kawan... aku masih kelas 2 Sekolah Dasar saat itu... entah sudah masuk hitungan kesalahan di buku malaikat, belum...? entahlah...
Aku terkikik, saat ia meminumnya dan memuntahkannya... rasain...!!
Sudahlah... cukup hari itu aku bermain hal bodoh...
Aku sungguh malu pada diri sendiri... tapi, tak apalah...
Aku tak mau siapapun menyakiti ayah ibuku, meski aku tak bisa berbuat apa-apa...
Jika sekarang aku ingat-ingat... aku hanya geleng-geleng kepala...
(to be continued... next : Menebak cita-cita...)
3 comments:
Lika......ternyata.......bandel ya.....hayo ntar kucubit loh.....
Wah besok2 kudu ati2 nih ... Xixixi
kenapa, mbak...? :)
Post a Comment