Kawan... semoga engkau tak lelah mengikuti jejak langkahku, masih mau membaca kisahku, kan?
Mauuuu...! baik, sepakat lagi... tapi kuharap suaramu dipelankan, jangan ribut begitu... nah, begitu... bagus...
Di kisah pertama aku ceritakan, kalo aku pernah ikut sanggar tari dari TK sampe SD, kan? Ingat nggak...? Nggaaaak...! Wah, kau tak boleh begitu kawan... menurutlah padaku... aku tak akan menuntunmu mana jalan ke Roma, kau cari saja sendiri... maka, nggak ingat juga tak kupaksa...
Baiklah...
Setiap peringatan tujuh belas Agustusan... lapangan selalu padat penjual makanan, mainan, dan aneka rumpun keluarga... maksudku, satu keluarga yang semuanya ikut berpartisipasi pada lomba... bahkan, nenek-nenek juga boleh ikut... tapi lomba, apa yah?
Aku juga ikut lomba, tapi tak pernah menang... mau lomba masukin pensil ke dalam botol atau lari seratus meter, atau juga membawa kelereng berjalan dititipin ke mulut dan sejenis lomba masa Agustusan yang lazim dilombakan...
Aku heran, aku kok gak pernah menang, yah... jangan-jangan jurinya salah menilai, nih, hehe...
Bayangkan sampai aku kelas lima Sekolah Dasar pun, setiap tahun tak pernah kudapati kemenangan di desaku sendiri... aku senewen mirip ayam habis bertelur...
Tapi, jangan kau tanya masalah seni kawan... aku mewakili juara satu untuk sekolahku di tari kreasi... bahkan aku pembawa nomornya, duh senangnya... itu di kecamatan.
Di desaku sendiri aku juga menari, biasanya kubawakan tarian kupu cedung sejak aku masih TK... bahkan aku dan kakak perempuankulah, generasi yang masih menguasai tarian itu... semua teman bahkan guruku, meminta untuk diajari... karena sudah langka... padahal aku juga sudah bosan dengan tarian yang sama tiap tahun... mirip seperti tariannya, kupu-kupu yang tak pernah hinggap dan bermetamorfosis.
Sedang di kabupaten aku tak jadi ikut karena sakit... sedih memang, tapi ada hal indah sedang menantiku... apa itu?
Aku bisa konsentrasi belajar dan kembali aku mengibarkan bendera juara meski baru juara 2 di kelas, naik dua tingkat... tapi sudah cukup membuatku senang... dan hadiah berupa buku tulis tebal beberapa buku dapat kuambil dan kubawa pulang...
Lalu, aku sudah bisa membuat sulaman strimin lebih bagus, dari saat aku awal mula belajar di kelas 3 dulu, dari kakak angkatku... duh, aku sangat senang... bisa membuat ayahku tertawa lebih lebar...
Ayah mengajariku arti kegagalan... bagaimana cara belajar meski autodidak... dan semua pelajaran tentang seni, kudapatkan di usia ini... menggambar, bermain musik, membuat aneka kerajinan tangan dan lainnya...
Maka aku jadi makin berminat untuk mengetahui hal lain yang tak terduga...
Aku menjadi pendengar setia dari radio suara ayahku yang on air setiap waktu kuperlukan... mo request apa? Beliau pasti menjawab...
Bahkan aku tak bisa lepas darinya... beliau memakai celana panjang saja, aku sudah berkata, “Ayah, mau kemana?” sambil mengikuti kemanapun ia pergi... akupun meringis padanya, menampakkan gigi yang berbaris rapi...
Karena kebiasaanku suka meringis dan suka naik pohon inilah... aku dijuluki luwak (binatang berekor panjang yang kepalanya mirip srigala – kata orang suka meringis saat lapar atau kenyang, takut mati kelaparan dan atau mati kekenyangan... ada-ada saja...) dan maling cilik... maksud yang terakhir karena aku suka mengambil makanan apa saja di lemari dan dapat kutemukan meski tersembunyi... hidungku seperti bisa mengendus, kalo ada cemilan di lemari atau berupa buah... ciri khas tupai, bukan...?
Tapi satu hal untuk ini, kawan... aku sangat jarang dimarahi, kecuali aku sudah sangat mengesalkan... bahkan tubuhku pernah dihampiri cemeti dan juga kayu bakar besar yang belum dibelah... sakit dan memerah.
Atau juga kepalaku direndamkan ke air oleh ibuku... aku membayangkan, ibuku lebih galak dari ayah, meski beliau juga lembut hati... tapi kalo masalah hukuman, ibu lebih keras daripada ayah... tapi setelah itu ayah mengajakku bertamasya ke alun-alun setiap sepekan sekali sekaligus membelikan putu (makanan dari ketan berisi gula aren), untukku dan kakakku serta ibu...
Akan kuceritakan pertemuanku dengan binatang bernama luwak lain waktu, kawan... ternyata memang ada... padahal itu hanya julukan saja kukira... tentunya bersama kisah lain yang akan kujadikan satu di pamungkas episode...
Yah, INTINYA kawan... janganlah kau ikuti perilakuku yang aneh-aneh ini... tapi kalo baik, ambillah sesukamu... aku tak melarang untuk itu... INTINYA AKU SOK TAHU...
Belajarlah dari masa yang pernah terlewati... biarpun kau melompat pada tali kegagalan tapi ada hikmah dan juga lompatan pencapaian... bahwa kita pernah gagal... gagal yang membahagiakan karena bisa memetik pelajaran... dan sebenarnya bukan gagal... tetapi sedang terus belajar...
Maka, ingatlah pesan ayahku ini...
“Pada sesuatu hal, jangan kau katakan tidak bisa... tapi BELUM BISA... karena kalau kau bilang tidak bisa, selamanya kau tak mau belajar dan tak akan pernah bisa sesuai dengan yang kau ucapkan... tapi jika belum bisa, maka engkau akan terus belajar SAMPAI KAU BISA.”
(to be continued... next : Ragam hayati...)
2 comments:
Ha3, luwak itu jg julukanku dr bapak krn suka nyengir bandel. Trus aku jg jago nyari2 makanan tersembunyi.
oh, sama ya mbak, hehe...
Post a Comment